Tentang Profesionalisme Guru

Tulisan ini adalah tanggapan untuk blog post sahabat saya yang mengkritisi sikap profesional guru. Ini bukanlah sanggahan, bantahan, apalagi cacian. Saya hanya berusaha memperjelas apa makna “bersikap profesional”.

Menurut saya, seseorang bisa dikatakan bersikap profesional ketika ia mampu memenuhi tuntutan profesinya, dengan mendapatkan imbalan yang layak, dan dengan memerhatikan kode etik dan standar perilaku yang berlaku di lingkungan kerjanya. Dalam konteks profesi seorang pendidik, sikap profesional ini misalnya: datang ke kelas dan membubarkan kelas tepat waktu (tidak korupsi waktu), datang ke kelas siap dengan materi, dan bisa mempertanggungjawabkan pekerjaannya, termasuk menjaga integritas anak didik dan diri sendiri dengan sikap yang tegas terhadap ketidakjujuran dan kegiatan contek-mencontek.

Lebih lanjut, seseorang bisa dikatakan mempunyai dedikasi terhadap pekerjaannya apabila ia mau memberikan lebih daripada apa yang dituntut darinya secara profesional. Seorang guru bisa dikatakan berdedikasi terhadap pekerjaannya apabila ia rela menggunakan waktu pribadinya di luar jam kerja untuk mengajar (atau lebih baik lagi, mendidik) anak-anak didiknya, baik itu formal ataupun non-formal. Yang satu ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan imbalan apapun, dan lebih dekat pada kecintaan seseorang atau panggilan hatinya terhadap pekerjaannya.

Bentuk lain dari dedikasi adalah ketika seorang guru tetap mau menjalankan tugasnya secara profesional walaupun ia tidak menerima imbalan yang layak.

Nah, dalam tulisan yang saya baca, dan dari diskusi hangat di twitter kemarin, tampaknya belum dijelaskan apakah yang didiskusikan itu sikap profesional dan/atau berdedikasi. Tetapi esensi diskusi dan tulisan tetap sama, yaitu keprihatinan bersama bahwa banyak guru masa kini yang tidak lagi profesional, apalagi punya dedikasi terhadap pekerjaannya.

Guru yang tidak mau lembur demi acara bedah buku adalah guru yang tidak punya dedikasi terhadap pekerjaannya (meskipun apabila kita mau adil, harus dipahami juga bahwa untuk mau memberikan lebih daripada yang dituntunt secara profesional, ia harus lebih dulu mampu). Dalam hal ini, ia tetaplah guru yang profesional.

Di sisi lain dikatakan ada banyak guru yang membayar orang untuk mengerjakan karya ilmiahnya demi kenaikan pangkat (dan pada akhirnya kenaikan gaji), dan ini adalah sikap tidak profesional. Banyak contoh lain untuk perilaku tidak profesional, antara lain memberikan bocoran soal ujian kepada anak didiknya, yang berlawanan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Contoh yang lebih sederhana: sering tidak hadir di kelas karena “kepentingan pribadi”.

Bagaimana mungkin seseorang bisa punya dedikasi terhadap pekerjaan yang dilakukannya dengan tidak profesional?

Sekali lagi saya tegaskan bahwa ini adalah opini, bukan fakta, dan saya tidak menganggap semua guru itu tidak profesional apalagi punya dedikasi. Masih banyak pendidik yang bermutu dan patut kita sebut “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” (walaupun sebenarnya tidak masuk akal, karena sebutan itupun sudah merupakan suatu tanda jasa/bentuk penghargaan).

Guru itu memang sudah seharusnya profesional, tetapi kalo ia mempunyai dedikasi, itulah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.

Nah kalau sudah begini lalu menjadi jelas, apa sebenarnya yang bisa kita haruskan, dan apa yang kita harapkan dari para guru.

Punya integritas, tidak korupsi waktu, dan bertanggung jawab terhadap anak-anak didiknya; itu semua harus. Jika tidak, berarti ada masalah dengan si guru itu.

Tetap mau mengajar di pelosok desa walaupun tidak digaji atau mungkin digaji sangat kecil, atau mau bekerja di luar jam kerja; kalau kita mengharuskan itu, masalahnya adalah kita sendiri.