Monthly archives of “June 2014

Warung Kopi Bardiman

 

bardiman-01-bardiman-celloBardiman. Entah nama siapa itu kok bisa jadi nama warung. Salah satu pelanggannya malah bilang barangkali itu semacam pisuhan yang disamarkan #bardimantenan.

Warung Kopi Bardiman adalah sebuah warung kopi yang buka 24 jam di Seturan, Yogyakarta. Bertajuk “warung kopi”, tempatnya cukup terang, bersih, dan didominasi warna alami kayu. Setiap kali aku lewat di Jalan Seturan Raya, tempat ini selalu kebak mencep, dan jalanan pun sangat padat, jadi malas buat berhenti mampir. Untungnya malam itu sepi nyenyet, jadi aku bisa bebas mengambil gambar.

Warung Kopi Bardiman versi sepi nyenyet. Sayangnya si VW Beetle yang biasa nangkring di parkiran sedang ngeluyur entah ke mana.
Warung Kopi Bardiman versi sepi nyenyet. Sayangnya si VW Beetle yang biasa nangkring di parkiran sedang ngeluyur entah ke mana.
Bar-nya Bardiman, lengkap dengan gitar, cello, dan Turkish oud.
Bar-nya Bardiman, lengkap dengan gitar, cello, dan Turkish oud.
Banyak kutipan tersebar di sini, dan ini salah satu yang pertama kali kubaca.
Banyak kutipan tersebar di sini, dan ini salah satu yang pertama kali kubaca.
Koleksi kopi yang dipajang di bar: Toraja, Wamena, dan kawan-kawan.
Koleksi kopi yang dipajang di bar: Toraja, Wamena, dan kawan-kawan.
Mengintip di belakang bar, masih banyak koleksi kopi seluruh Nusantara, termasuk kopi luwak.
Mengintip di belakang bar, masih banyak koleksi kopi seluruh Nusantara, termasuk kopi luwak.
Di sebelah kanan bar, ada beberapa kaleng kerupuk dan timbangan, menampilkan juga kopi Bengkulu dan kawan-kawannya.
Di sebelah kanan bar, ada beberapa kaleng kerupuk dan timbangan, menampilkan juga kopi Bengkulu dan kawan-kawannya.
Grinder yang digunakan di sini. Sayangnya dia hanya menawarkan menu kopi tubruk dan siphon coffee. Akan sangat keren jika di sini ada mesin presso.
Grinder yang digunakan di sini. Sayangnya dia hanya menawarkan menu kopi tubruk dan siphon coffee. Akan sangat keren jika di sini ada mesin presso.

Kesan pertama adalah betapa banyaknya koleksi kopi yang dia miliki. Semuanya dari Nusantara. Semoga saja dia juga paham betul bagaimana cara menyimpan stok kopinya yang hebat ini supaya tetap nikmat ketika disajikan. Apalagi kalau sampai ada mesin presso. Joss!

Berikutnya, mari kita melihat-lihat suasana dan dekorasi di dalam warung kopi ini.

Suasana di lantai 1. Ini sepi. Kalau rame gak akan bisa motret apa-apa karena pasti ketutupan lautan manusia.
Suasana di lantai 1. Ini sepi. Kalau rame gak akan bisa motret apa-apa karena pasti ketutupan lautan manusia.
Dekorasinya boleh juga, dengan macam-macam kutipan di sana-sini.
Dekorasinya boleh juga, dengan macam-macam kutipan di sana-sini.
Pramoedya pun bersanding dengan Aristotle.
Pramoedya pun bersanding dengan Aristotle.
Salah satu elemen dekorasi lain yang menarik adalah lukisan dinding. Ini salah satunya di lantai 2.
Salah satu elemen dekorasi lain yang menarik adalah lukisan dinding. Ini salah satunya di lantai 2.
Soekarno pun dilukis di dinding.
Soekarno pun dilukis di dinding.
Malam ini dia berdinas sendirian, si Beetle entah ke mana.
Malam ini dia berdinas sendirian, si Beetle entah ke mana.

Baiklah, selesai sudah melihat-lihat. Kini saatnya mengisi perut. Aku memesan kopi tubruk Wamena dan seporsi omelette. Emangnya kenyang makan telur dadar doang? Tunggu…

Kopi tubruk Wamena. Penyajiannya cukup sederhana, khas warung kopi. Soal rasa, aku tetap lebih berselera pada kopi yang diseduh dengan presso. Tapi ini pun sudah lumayan enak.
Kopi tubruk Wamena. Penyajiannya cukup sederhana, khas warung kopi. Soal rasa, aku tetap lebih berselera pada kopi yang diseduh dengan presso. Tapi ini pun sudah lumayan enak.
Nah, lalu apakah gerangan yang dimaksud omelette? Ternyata ia adalah pizza indomie kawan-kawan! Ini makanan wajib anak kos dari jaman tahun 2000-an awal. Sedikit di luar perkiraan, tapi oke juga. Maka kenyanglah saya.
Nah, lalu apakah gerangan yang dimaksud omelette? Ternyata ia adalah pizza indomie kawan-kawan! Ini makanan wajib anak kos dari jaman tahun 2000-an awal. Sedikit di luar perkiraan, tapi oke juga. Maka kenyanglah saya.

Kopi Tubruk Wamena: Rp 15.000
Omelette: Rp 10.000
Total biaya: Rp 25.000

Lumayan lah buat pertama kali ke sini. Akan kah kembali lagi? Tergantung apakah ramai, karena tempat yang terlalu ramai lalu menjadi tidak menyenangkan buatku untuk bersantai dan minum kopi.

Cheers!

The Chronicles of Fumiko: Beginnings

Please welcome Fumiko, the latest edition of gadgets to join my humble collection.

Hello, I'm Fumiko!
Hello, I’m Fumiko!

Fumiko is a Fujifilm X20, a sweet-looking petite camera from the land of the rising sun.

I remember years ago writing down owning my very own DSLR as one of my long-term goals. Fast forward to about a year ago I switched to wanting to have a mirrorless camera like a Sony NEX. But then I realized that the temptation to use a variety of (very expensive!) lenses defeats the purpose of having a compact mirrorless. So I decided to go for a fixed-lens, street photography camera that looks great. The X20 hits that sweet spot. [review]

I just bought this baby yesterday, and the business of money-making forced me to not hunt for photos today. Instead, I decided to test on whatever subject I could find lying around the office. Moderate Lightroom editing applied.

Using the super macro feature.
Using the super macro feature.
Taking a step back and using the macro mode.
Taking a step back and using the macro mode.
Testing low-light condition shots.
Testing low-light condition shots.
The black-and-white pictures of this camera are highly praised. Here's one of my own.
The black-and-white pictures of this camera are highly praised. Here’s one of my own.
Focusing is super fast, and this close-up is a testament to that. With almost-ideal light conditions and at ISO 100, this was an easy shot.
Focusing is super fast, and this close-up is a testament to that. With almost-ideal light conditions and at ISO 100, this was an easy shot.
The sun was already setting at this point, so I bumped up the ISO to 6400 and managed to get a grainy portrait, albeit not half as sharp as the previous one.
The sun was already setting at this point, so I bumped up the ISO to 6400 and managed to get a grainy portrait, albeit not half as sharp as the previous one.

That’s it for now, let’s hope Fumiko lives up to its price tag!

Randomize Bandung

Sekali-sekali lah aku menulis lagi tentang perjalanan yang random.

Bandung, kota yang aku ingin kunjungi dari sejak lama, bahkan sempat aku bercita-cita kuliah di ITB. Kota yang sebelum ini hanya sempat kusambangi hanya beberapa hari saja (kalau tidak boleh disebut beberapa jam). Akhirnya semesta memberiku peluang berkunjung ke Bandung, dan tidak tanggung-tanggung, seminggu lamanya!

So here’s my story…

Awalnya ini adalah tugas resmi dari kantor, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor cabang Bandung. Senin hingga Rabu, bersama seorang kawan yang meskipun baru kukenal tapi adalah seorang traveller ulung. Lalu kami putuskan: cuti di hari Kamis dan Jumat!

Hari Pertama: 5 Mei 2014

Kami awali hari dengan tetap ngantor di Jogja, menyelesaikan beberapa hal yang memang harus selesai di Jogja, lalu ke bandara kami pergi. Airplanes: one of my favorite things in the world. Kami akan naik ATR-72, karena hanya dengan pesawat itu kami bisa pergi ke Bandung. Jarang-jarang ada kesempatan naik pesawat baling-baling yang terbang sedikit lebih rendah daripada jet Boeing atau Airbus. Delightful!

Setelah sesorean di kantor Bandung, beranjaklah kami ke kos eksklusif d’Paragon Bandung, di kawasan Setrasari. Setelah settling down dan berbersih diri, kami keluar lagi, naik angkot random yang ternyata ke Pasir Kaliki. Mengapa kami turun di Pasir Kaliki? Gampang saja, semua penumpang sudah turun kecuali kami, lalu si aa’ supir angkot tanya kami mau ke mana. Tidak punya jawaban, kami turun saja…

Lalu kami menemukan Kafetaria 170. Aku memesan risoles beef, dan kak Ulin memesan roti kukus dengan isi beef ham & eggs. Ternyata roti kukusnya segede gaban, dan risoles nya bener-bener imut bin mungil hahaha… Coffee was so-so, tapi tempatnya cukup asik buat ngobrol.

Setelah kenyang, kami ngangkot lagi ke arah Setrasari, lalu pulang dan tidur.

Hari Kedua: 6 Mei 2014

Setelah kerja seharian di kantor, kami putuskan malam ini kami tidak akan jauh-jauh dari daerah kantor/kos. Kami menemukan Kopi Anjis dan memutuskan nongkrong di situ bersama Dewi. Pisang Gemes Banget, Seblak, Roti Kukus Isi Ham, Kopi Nutella, dan Kopi Hitam menemani obrolan kami malam itu. I wish I could say otherwise, but the coffee was just not to my liking.

Masih penasaran dengan kopi, kami beralih ke Kopi Tiam Hochiak di Plaza Setrasari. The coffee was much, much better! Sayangnya jam buka tidak sampai larut malam jadi kami harus segera pulang.

Hari Ketiga: 7 Mei 2014

Setelah ngantor seharian dan membawa semua bawaan kami ke kantor (baju buat jalan-jalan + laptop + kertas segepok itu berat kawan!), kami harus naik taksi dari kawasan Setrasari ke Dago Atas, tempat kami menginap selanjutnya. Kak Ulin yang menemukan tempat ini, bernama Bantal Guling Guesthouse.

Di taksi kami sudah bingung, ini kok jalan masuknya jauuuh sekali. Tapi begitu check-in dan melihat pemandangan dari teras kamar kami (bunk beds! ^^), kami diam. It was gorgeous! Kalau pernah lihat kota Jogja dari atas Bukit Bintang (Jalan Wonosari), semacam itu tapi versi gedenya lah. Dan itu kelihatan dari teras depan kamar! Delightful!

Inilah pemandangan dari teras kamar. Paling asyik dinikmati di malam hari.
Inilah pemandangan dari teras kamar. Paling asyik dinikmati di malam hari.

Lalu kami lapar. Jalan lah kami keluar, sekitar 20 menit berjalan kaki. Di jalan keluar kami menemukan semacam factory outlet yang saya lupa namanya, dan keluar lagi ke jalan Juanda dan ternyata dekat dengan Terminal Dago.

Batagor! Kami lapar dan melahap batagor di pinggiran terminal, dilayani oleh teteh-teteh yang membedakannya dengan pelanggan pun kami sulit. Bening. Kenyang perut, kenyang batin pula.

Hari Keempat: 8 Mei 2014

Bantal Guling ini agak unik rupanya. Meskipun kamar untuk 2 orang dan kasur juga ada 2 (bunk beds! ^^), selimut hanya ada satu, begitu pun handuk. Masih di laundry katanya. Ya sudahlah, toh kami datang well-prepared

Kami bangun kepagian, seperti biasa, lalu memutuskan jalan-jalan ke sekitar kampung. Lalu kami menemukan ini:

Sekolah Alam Bandung
Sekolah Alam Bandung

Ternyata kami dekat sekali dengan sekolah yang tidak biasa ini. Keren! Bisa melihat soang dan ikan dan alam. Meskipun cita-cita luhurku numpak kebo belum terpenuhi, ini pun sudah cukup menggembirakan.

Sepertinya ini ruang guru.
Sepertinya ini ruang guru.
Salah satu ruang kelas terbuka.
Salah satu ruang kelas terbuka.
Tampaknya seru belajar di atas sana.
Tampaknya seru belajar di atas sana.
Belajar merawat makhluk hidup sedari kecil.
Belajar merawat makhluk hidup sedari kecil.
Interior salah satu ruang kelas yang terbuka. Di kiri atas itu adalah "lantai 2" yang kira-kira fungsinya untuk istirahat siang anak-anak.
Interior salah satu ruang kelas yang terbuka. Di kiri atas itu adalah “lantai 2” yang kira-kira fungsinya untuk istirahat siang anak-anak.

Sarapan di guesthouse adalah nasi goreng tanpa kecap, mie goreng, telur dadar, dan teh/kopi panas bikin sendiri. Setelah makan dan mandi, kami memutuskan untuk “main kanan-kiri”, which is another way of saying “random choice”. Angkot pertama yang lewat kami naiki, dan sampailah kami di Stasiun Hall Bandung. Salah satu ide kami adalah naik kereta ke stasiun kecil entah di mana, lalu jalan-jalan random lagi.

Oiya, perkenalkan, ini adalah Mulyadi, yaitu buntutnya kak Ulin. Karena kami tak begitu suka difoto, beliau lah yang akan menjadi foto model apabila diperlukan. d[^^v]b

Mulyadi di depan Stasiun Hall Bandung
Mulyadi di depan Stasiun Hall Bandung

Sampai stasiun jam 9.24 pagi. KRD Ekonomi Bandung Raya trayek Padalarang-Cicalengka tampak menarik. Tepatnya, Cicalengka tampak menarik. Oke, lihat jadwal. Tujuan Cicalengka berangkat sekitar 10.30. Tujuan Padalarang berangkat 10 menit lagi.

Berangkat ke Padalarang! Dan harga tiketnya absurd! Murah tenin.

Tiket kereta yang harganya absurd!
Tiket kereta yang harganya absurd!

Sampai Padalarang, keluar kereta, beli tiket, masuk lagi, kali ini ke arah Cicalengka. Cara menghabiskan waktu yang brilian saudara-saudara! Sampai ke Cicalengka, naik angkot, yang ternyata salah jurusan kawan-kawan! Turun lah kami di Nagrek. Iya, Nagrek yang itu, yang biasa nongol ketika ada liputan arus mudik dan arus balik. Emangnya ada apa di Nagrek? Ya memang ga ada apa-apa sih.

Setelah tanya ke ibu-ibu penjaga toilet rest area yang sotoy dan mengira kami hendak “bobogohan di tempat gelap“, kami cari angkot lagi yang ke arah Cicalengka. Kami mau cari curug (air terjun), dan ternyata si aa’ supir angkotnya mau kami sewa buat mengantar kami ke Curug Cinulang. Limapuluh ribu rupiah sekali jalan.

Dan beginilah Curug Cinulang:

Curug Cinulang
Curug Cinulang
Curug Cinulang
Curug Cinulang

Setelah cukup sejuk terkena embun dari curug, kami ngangkot lagi turun. Oiya, di perjalanan dari Cicalengka – Curug Cinulang, pemandangannya bener-bener bikin sejuk deh. Bukit-bukit ladang tembakau dan lembah di kejauhan. Untungnya kami sewa angkot, bukan naik ojek, jadi bisa duduk santai di dalam angkot yang isinya cuma kami berdua sambil ngobrol santai dan menikmati pemandangan. Sampai di bawah, si aa’ kami ajak (paksa?) makan bareng dengan kami, lalu dia mengantar kami ke stasiun Cicalengka. Kali ini, kami naik KRD Patas Bandung Raya yang harga tiketnya agak lebih masuk akal: sepuluh ribu rupiah.

Setibanya di Bandung, kami jalan-jalan menyusuri Pasar Baru, random turn, dan kami menemukan toko kopi. Niat kami mencari toko Kopi Aroma Banceuy di Jalan Banceuy, tapi malah menemukan toko kopi lain yang sayangnya aku lupa namanya. Toko itu menjual kopi yang sudah digiling maupun biji kopi yang bisa langsung digiling, dalam toples-toples besar macam wadah kerupuk. Akhirnya kami membeli 2 jenis kopi arabica dan 1 jenis kopi robusta, digiling di tempat. (sayangnya pengemasannya dengan plastik dan di-staples)

Dari toko itu, berbekal petunjuk seadanya dari orang-orang di sekitar kami, kami mencari jalan ke Kopi Aroma Banceuy. Yang terjadi akhirnya adalah kami keblasuk ke Jalan Cibadak, lalu belok-belok-belok entah ke mana, dan akhirnya nangkring di angkot yang ke arah Pasir Kaliki.  Di sinilah kekonyolan terjadi…

Kami naik angkot Dago – Caringin. Duduk manis. Diam. Lalu kami bingung. Mana Dago-nya?

Ternyata itu angkot ke arah Caringin, saudara-saudara sekalian! Si aa’ supir nya sebenernya sudah tanya ketika kami naik, “ke Caringin neng?”, tapi kami sibuk dengan aktivitas nggumun bin umbrus kami. Untungnya sempat ditanya si aa’ sebelum masuk ke pasar sesuatu di dekat Caringin, dan dia mengantar kami ke Simpang Dago. Harusnya siiih, kami ngangkot lagi ke Dago Atas, tapi lalu kami terpikat ini…

Mulyadi di Kopi Kamu
Mulyadi di Kopi Kamu

Kopi Kamu! Naaah… akhirnya kami ngopi di situ, dengan kopi yang freshly ground juga. Harganya 85 ribu untuk 100 gram biji kopi, yang bisa dibikin sekitar 5 cangkir kopi. Ditemani kawan kami yang memang berkantor di Bandung, kami menghabiskan waktu ngobrol sampai tidak ada lagi angkot, dan akhirnya kami bertaksi kembali ke Bantal Guling.

Menyenangkan 🙂

Hari Kelima: 9 Mei 2014

Setelah sarapan di guesthouse, kami menemukan banner Soundsations: Road to Soundrenaline. Menarik! Tampaknya bisa buat tempat nongkrong kami nanti malam.

Lanjut, kami ngangkot dan iseng-iseng masuk ke kampus ITB. Baru sekali ini aku masuk ke kampus ITB, dan memang agak ngangeni ketika melihat adik-adik lucu yang berjalan kesana kemari dengan segala “kesibukan” tugas, kuliah, ujian, dan lain-lain. Kami sempatkan beli jus buah dan makan mie instan di kantin kampus, dan saudara-saudaraku sekalian, bahagia adalah ketika aku membeli gorengan lalu ditanya oleh ibu-ibu penjualnya: “Adek mau beli apa?

Bahagia itu sederhana.

Dari ITB, kami keluar lewat pintu belakang (dekat lapangan softball), lalu jalan kaki lagi ke salah satu persimpangan di situ. Naik angkot lagi lah kami, melihat-lihat suasana kota, dan nyangkut di jalan entah apa namanya yang banyak kampusnya. Ada semacam STIE di situ, tapi lupa juga namanya apa. Tampak kurang menjanjikan, kami naik angkot lagi ke arah berlawanan. Lalu aku tertidur…

Tiba-tiba kak Ulin membangunkanku dan langsung menunjuk ke tepi jalan. Kafe! Spontan aku teriak, “Kiri!”, dan tersangkutlah kami di Kopi Progo.

Mulyadi nangkring di depan Kopi Progo
Mulyadi nangkring di depan Kopi Progo

Kami ini orang-orang yang betah ngafe, dan saat itu bukan perkecualian. Meskipun rambut kami berantakan, badan berkeringat, dan muka udah kucel semacam baju belum disetrika, boleh lah kami menikmati sepiring panekuk dengan topping keju dan kismis, dan menenggak segelas Progo Iced Coffee dan Green Tea something (maap saya lupa).

Mulyadi dengan Progo Iced Coffee dan Green Tea something
Mulyadi dengan Progo Iced Coffee dan Green Tea something
Mulyadi dengan panekuk keju saus something-berry
Mulyadi dengan panekuk keju saus something-berry

Setelah puas ngafe, target kami selanjutnya adalah cilok! Jadi keluar kafe, persis di sebelahnya, kami jajan cilok. Dengan cabe sedikit pun, kami kepedesan, kepanasan pula, tapi bahagia karena sudah ngicip cilok di Bandung. #penting

Kami ngangkot lagi ke arah Dago Atas, dengan maksud mau ke Dago Tea House. Sekali lagi kami tersangkut, kali ini di pasar entah apa namanya di Jalan Juanda. Cita-cita kami sekali lagi sederhana kawan, mencari es tebu. Tapi kami cukup bahagia dengan pisang goreng yang menarik ini.

Pisang goreng beraneka ragam bentuk ^^
Pisang goreng beraneka ragam bentuk ^^
Yang ini sudah dipotong, lalu akan dilumuri saus sesuai selera. Pilihanku: durian!
Yang ini sudah dipotong, lalu akan dilumuri saus sesuai selera. Pilihanku: durian!

Sesampainya di Dago Tea House, kami baru tau bahwa ternyata ini event gratisan! Kami masuk, dan mendapati musik yang menyenangkan di telinga kami. Kalau tidak salah, ada 3 band yang menarik buat kami: Under The Big Bright Yellow Sun, A.F.F.E.N., dan Polyester Embassy. Sayangnya setelah itu kami dibuat bosan oleh stalling yang terlalu lama dan garing, lalu kami pulang.

Mulyadi pun ikut menonton Soundsations
Mulyadi pun ikut menonton Soundsations

Hari Keenam: 10 Mei 2014

Akhirnya kawan-kawan kami dari Jogja datang: Augus, Diah, dan Dali. Datang lalu tidur. Ya iyalah soalnya datangnya pagi subuh. Lalu kami pindah kamar dan bergabung bersama mereka, sekamar berlima. Setelah sarapan standar dan ngobrol sejenak, kami beranjak keluar dan naik angkot ke Simpang Dago. Di jalan kami putuskan untuk ke Lembang, jadi kami ganti angkot ke Sukajadi, lalu ke Lembang. Sampai di Lembang, bingung antara mau ke Maribaya atau ke Observatorium Bosscha, akhirnya kami memutuskan naik ojek ke Bosscha.

Sampai di Bosscha jam 12.45, kami langsung berburu satpam buat ditanyai beli tiketnya di mana. Ternyata saudara-saudara, hari Sabtu adalah hari kunjungan bebas, dan ditutup jam 1 siang! Mepet sekali! Beruntung kami masih bisa dapat tiket masuk dan tidak perlu reservasi seperti hari lain. Sungguh beruntunglah saya, karena ini salah satu tempat yang saya ingin datangi sejak dari lamaaa sekali.

Mulyadi akhirnya bisa masuk Observatorium Bosscha!
Mulyadi akhirnya bisa masuk Observatorium Bosscha!
Yang ini namanya teropong bintang Zeiss double refractor.
Yang ini namanya teropong bintang Zeiss double refractor.

Setelah puas mengagumi salah satu teropong bintang dan ngobrol santai dengan bapak pemandu, kami pun lapar, lalu memutuskan mencari makan. Tapi untuk cari makan maka harus cari angkutan dulu. Jalan kaki lah kami turun ke jalan utama Lembang, sekitar 1 km jauhnya, lalu mencegat angkot. Eh lah, si angkot naik lagi ke jalan yang tadi. Lalu kami diturunkan di jalan kecil, dekat Floating Market Bandung.

Sebenernya tertarik sih mencoba ke situ, tapi dari sejak masuk ke parkiran kami sudah diuber-uber sama tukang parkir yang merangkap tukang palak, annoying sekali. Hilang lah mood kami. Akhirnya naik angkot lagi turun, menuju ke Rumah Sosis yang tadi sudah kami lihat waktu perjalanan menuju Lembang.

Daaan… ternyata Rumah Sosis ini tempat rekreasi dengan kolam renang saudara-saudara! Sosisnya cuma dikit hahaha… Tak apalah, yang penting ada tempat nyangkruk dan rehat sejenak. Setelah perut berisi dan badan sedikit lebih segar, kami ngangkot lagi menuju ke kota Bandung. Ingin pulang, kami turun di Pasir Kaliki dan sekali lagi naik angkot jurusan Caringin – Dago. Tak ingin tertipu lagi, kali ini aku konfirmasi ke supirnya bahwa ini angkot menuju Dago. Aman.

Sampai di Simpang Dago, si angkot luruuus aja. Nggg… harusnya kan belok kiri ya, masuk ke Juanda, lalu ke atas sampai Terminal Dago. Ternyata bukan, saudara-saudara! Entah karena sudah lewat maghrib, atau supirnya iseng, atau memang jalurnya begitu, yang dimaksud Caringin – Dago adalah dari Caringin ke Simpang Dago, bukan Terminal Dago. Tertipu lagi…

Akhirnya setelah putar-putar di Bandung timur entah di mana, balik lagi ke Simpang Dago, kami ganti angkot jurusan Kalapa – Dago. Kali ini bener. Sampai di Terminal Dago, beli batagor idaman kak Diah dan sebutir nanas idaman kak Ulin, lalu pulang, mandi, makan, dan nongkrong di guesthouse.

Hari Ketujuh: 11 Mei 2014

Kami malas. Bangun sih pagi ya, tapi bermalas-malasan di kamar dan baru berangkat sekitar tengah hari. Mengangkot lah kami ke Stasiun Hall dan mencari tempat penitipan barang. Ternyata ada, di seberang pintu selatan, di semacam warung kelontong. Setelah hilang beban berat kami, lalu Braga menjadi tujuan berikutnya.

Kata orang: “ke sana aja teh, nanti ada Bank Jabar, nah itu belok kiri, udah deh Braga”. Well, he forgot to mention that it was a 2 km walk. Tapi gapapa sih, malah asik menyelusup menyelinap di keramaian Pasar Baru. Sampai di Braga, karena memang masih siang ya, jadi puanasnyaaa… Akhirnya kami nyangkut di Braga Huis, tempat pertama yang menawarkan keteduhan dan penghilang dahaga.

Dapet Stella Artois donk di sana. Ndeso ya? Biarin lah, susah cari Stella Artois di Jogja.

Mulyadi dan sebotol Stella Artois ku.
Mulyadi dan sebotol Stella Artois ku.

Setelah puas menenggak minuman se-gendul, kami lanjut lagi jalan menyusuri Braga, dan tersangkut di sebuah gedung tua milik PGN yang ternyata sedang digunakan untuk pameran desain produk. Nyam! Lumayan lah dapat hiburan gratis lagi.

Mulyadi berpose di depan salah satu glider rancangan para mahasiswa.
Mulyadi berpose di depan salah satu glider rancangan para mahasiswa.
Kali ini Mulyadi bertengger di atas model yang nampaknya adalah regional jet, masih buatan para mahasiswa tadi.
Kali ini Mulyadi bertengger di atas model yang nampaknya adalah regional jet, masih buatan para mahasiswa tadi.

**karena saya suka sekali pesawat, dan kebetulan hanya ada foto ini (pun yang memotret adalah kak Ulin), maka ya sudah lah hehehe…

Setelah puas di pameran, kami jalan lagi donk kembali menuju Stasiun Hall. Di jalan menemukan Wiki Koffee, tapi sayangnya tempat itu sudah berubah menjadi tempat ngumpul anak-anak muda hipster. Ya sudahlah, lanjut saja, toh sudah hampir waktunya pulang ini.

Lalu kami tiba di stasiun dan pulaaang…

Hari Kedelapan: 12 Mei 2014

Setibanya di Jogja, sekitar jam 4.30 pagi, kami langsung ke mess kantor, numpang tidur sejenak dan berbersih diri, lalu ngantor lah kami. *kriyip-kriyip*

Itu, saudara-saudara yang budiman, adalah perjalanan kami selama seminggu yang nyaris tanpa rencana. Sekian.