Apakah gerangan Lir? Atau mungkin mundur selangkah lagi: bahasa apakah gerangan kata “lir” ini? Dalam bahasa Jawa pun ternyata ia memiliki beberapa makna. Tapi untuk saat ini, mari kita berkunjung saja ke Lir, sebuah tempat ngobrol yang asyik, tenang, ndhêlik, dan hijau.
Di suatu sore, sepulang kerja, mendadak kêpéngén ke tempat ini, tempat yang sudah lama masuk ke to-do list bagian tempat nongkrong. Sayang sekali pertama kali ke tempat ini ketika matahari sudah terbenam karena salah ingat alamat (Jalan Anggrek ya kawan, bukan Jalan Mawar) dan keengganan bertanya pada orang di sekitar situ. Tapi akhirnya ketemuuu!
*mrèngès*
Setelah sekian lama tertunda karena sok sibuk dan kebanyakan alasan, akhirnya kesampaian juga berkunjung ke tempat ini.
Lir ini menempati sebuah rumah bergaya arsitektur indis. Kebetulan waktu mencari referensi tentang arsitektur ini (karena mama saya yang arsitek, bukan saya), saya menemukan tulisan mbak Sinta Carolina (hai mbak, lama tak jumpa!) tentang salah satu Heritage Trail yang diadakan JHS (Jogja Heritage Society). Di artikel itu ada beberapa foto rumah bergaya arsitektur indis yang buatku asik banget bentuknya, tidak seperti rumah jaman sekarang yang sekedar kotak-kotak demi mengikuti tren gaya minimalis.
Nah, Lir ini menerapkan apa yang disebut dengan adaptive reuse, yaitu pengalihan fungsi suatu bangunan sehingga ia tidak lagi digunakan sebagaimana tujuan awalnya, dengan tidak mengubah apalagi merusak bangunan itu. Justru sebisa mungkin memugar bangunan sehingga bisa sebagus aslinya. Ini adalah konsep yang sangat dipromosikan oleh JHS. Banyak sekali bangunan-bangunan bergaya indis, atau bahkan bangunan asli Jawa (rumah Jawa lengkap dengan senthong kiwa dan senthong tengen) di Yogyakarta tercinta ini yang sudah diprèthèli, diubah demi modernisasi, atau bahkan dirubuhkan total/sebagian. Kekayaan arsitektural kita sesungguhnya sangat banyak, éman-éman kalau tidak kita jaga dengan baik.
Oke, sekian tentang arsitektur dan sejarah. Sekarang mari kita masuk ke Lir!
Masuk ke beranda langsung disambut tegel, ubin jaman dulu yang berwarna abu-abu. Seperti di rumah eyang. Masuk pertama kali dan kami disambut buku!
Masuk agak lebih jauh, dan kami menemukan definisi Lir menurut para pendirinya.
Sementara itu, di depan meja kasir ada sekumpulan buku-buku mungil yang bisa dibeli. Konsep tempat ini memang curiosity shop, jadi entah apa yang bisa kita temukan yang dijual di sini.
Di tembok pun ada dekorasi unik bertabur pernak-pernik. Lalu aku menemukan Fujica! Entah seri apa gerangan ini kakaknya Fumiko, dan sayangnya sepertinya sudah tidak bisa dipakai lagi. Tapi tetap saja, pajangan yang menarik.
Beranjak ke samping, sudah ditata meja-kursi yang sederhana, bertemakan warna hijau, dan tetap dengan dekorasi yang unik.
Berbekal satu buku besar dan beberapa brosur menarik, mendaratlah kami di salah satu meja, dan disambut dengan Hot Black Tea dan Homemade Ginger Ale pesanan kami. Guedhé sekali ya itu tempat minumnya… Marai blendingen…
Sebentar, ada yang menarik perhatian di belakang meja kami!
Sebelum makan, kami sempat ketemu dengan mas Dito, sang empunya Lir. Dia dan istrinya, Mira, ternyata adalah pekerja-pekerja seni. Pantas saja tempat ini asik dan unik dekorasinya. Mas Dito ini ternyata temanku satu carpool semasa SD. Setelah diberi tur keliling rumah dan ditunjukkan exhibition space di dalam (ada beberapa ruangan kecil, tidak sempat difoto karena kondisi sedang berantakan sehabis pameran), ternyata eh ternyata dia kenal dengan Muntah Jerapah alias Yudha Sandi, tandemnya Gracy Sondang si tukang kawat. Dan tak dinyana, mereka berdua datang ke Lir juga malam itu. Oh my, what a small world!
Setelah ngobrol, pesanan kami datang, yay!
Homemade Ginger Ale: Rp 20.000
Black Tea Hot: Rp 5.000
Macaroni Tomato: Rp 20.000
Macaroni Carbonara: Rp 20.000
Friend Mushroom: Rp 15.000
Total Biaya: Rp 80.000 untuk 2 orang
Wi-Fi: available
Colokan listrik: sepertinya agak susah
Open Tuesday-Sunday 10am-8pm
Closed on Monday
4 Comments