Animal
Friends
Jogja
sedang
mengadakan
Open
Adoption
Program
untuk
seekor
kucing
bernama
Kiko.
Inilah
dia
Kiko!
*jreng
jreng
jreng*
Supercute
Kiko!
Pemenang
lomba
loncat
tinggi
dan
pengejar
lidi
nomor
wahid
seantero
ruhut.
Penyrimpet
jalan
kalau
lagi
minta
dimanja.
Penyuka
pasta-tempe-tahu…
well…
apapun
yang
ada
di
piringmu
(minimal
harus
ngecek
kamu
punya
makanan
apa).
Buat
teman-teman
yang
tertarik
untuk
mengadopsi
Kiko,
bisa
langsung
menghubungi
Animal
Friends
Jogja.
Di
website
itu
ada
informasi
lengkap
tentang
bagaimana
caranya
teman-teman
bisa
membantu
Animal
Friends
Jogja
dalam
berbagai
program,
termasuk
Open
Adoption
untuk
kucing
dan
anjing.
Teman-teman
juga
bisa
memberikan
dukungan
dengan
cara
berbelanja
aneka
merchandise
Animal
Friends
Jogja
di
AFJ
Store.
Yuk,
tunggu
apa
lagi,
mari
berkunjung
ke
AnimalFriendsJogja.org
dan
ikut
berpartisipasi!
Every
little
bit
of
help
counts!
Lebaran
tahun
ini
menjadi
terasa
berbeda
karena
baru
kali
ini
aku
harus
menemani
beberapa
saudara
yang
datang
dari
jauh
untuk
berkeliling
kota,
dan
bahkan
hingga
sampai
ke
Candi
Borobudur.
Begitu
megahnya
candi
ini
dengan
ratusan
stupa,
patung
Buddha,
dan
relief
di
dindingnya,
apalagi
mengingat
candi
ini
dibangun
pada
masa
kejayaan
Dinasti
Syailendra
di
abad
ke-8.
Begitu
pentingnya
Candi
Borobudur
sebagai
peninggalan
para
leluhur
kita,
sampai-sampai
UNESCO
pun
mengangkatnya
sebagai
World
Heritage
Site.
Bangga
nggak
sih
kita
punya
peninggalan
kebudayaan
yang
sedemikian
hebat?
Oke,
bangga
itu
biasa,
semua
orang
juga
bisa
bangga,
padahal
bukan
kita
yang
bikin
candi
itu,
nenek
moyang
kita
lah
yang
entah
bagaimana
caranya
memahat
ribuan
batu
dan
menyusunnya
satu-persatu
sehingga
bisa
kita
bangga-banggakan
sekarang
sebagai
salah
satu
tempat
ibadah
umat
Buddha
yang
terbesar
di
dunia.
Pertanyaan
berikutnya
adalah:
sadar
nggak
kalau
Borobudur
itu
milik
kita?
Kalau
milik
kita
dan
kita
bangga
memilikinya,
seharusnya
kita
rawat
nggak?
Beberapa
foto
di
bawah
ini
menceritakan
bagaimana
bangsa
kita
menghargai
warisan
nenek
moyangnya,
yang
juga
adalah
tempat
ibadah
untuk
saudara-saudara
kita
umat
Buddha.
Dilarang?
Ah,
tak
apa
nak,
kita
lewat
saja,
begitu
kata
sang
ayah.
Cukup
jelas
tergambar
ada
tulisan
“Dilarang
Duduk”,
tapi
ratusan
orang
tetap
saja
duduk.
Tidak
hanya
itu,
mereka
juga
naik
ke
dinding
stupa,
dan
bahkan
menyuruh
anak-anak
mereka
untuk
naik
supaya
bisa
difoto
dengan
gaya
lebih
keren.
Berkali-kali
pak
Satpam
dan
beberapa
petugas
kebersihan
meneriakkan
pemberitahuan:
“Pengunjung
dilarang
merogoh
ke
dalam
stupa
untuk
memegang
patung
Buddha
karena
sedang
dilakukan
perawatan
terhadap
candi.”
Dua
Satpam
dan
sepuluh
tukang
sapu
tetap
saja
kalah
lawan
ribuan
manusia
yang
tak
mau
mendengar.
Rerumputan
itu
diberi
pagar
kawat
rendah
karena
sudah
tidak
akan
mempan
apabila
petugas
taman
hanya
memasang
tulisan
“Dilarang
Menginjak
Rumput”.
Tapi
tetap
saja
dilanggar,
dilangkahi,
dan
malah
dipakai
duduk
bersantai.
Coba
kalau
ada
orang
yang
melanggar
batas
suci
masjid
di
kampung,
atau
ada
orang
tua
yang
mengajari
anaknya
penekan
ke
atas
altar
di
Gereja
Kotabaru
Yogyakarta,
pasti
akan
ada
orang
yang
protes.
Sama
saja
di
Candi
Borobudur,
ini
tempat
ibadah,
bung!
Sudah
terlalu
banyak
pula
berita
tentang
betapa
ganasnya
para
fotografer
ketika
memotret
upacara
Waisak
di
Candi
Borobudur.
Kalau
kita
sedang
Misa
Malam
Natal
atau
Sholat
Ied,
lalu
ada
fotografer
yang
seenaknya
nyak-nyakan
di
depan
kita
jeprat-jepret
dengan
lampu
kilat
menyala-nyala,
kira-kira
ibadah
kita
khusyuk
nggak?
Itu
dari
sisi
fungsi
Candi
Borobudur
sebagai
tempat
ibadah.
Belum
lagi
statusnya
sebagai
candi
yang
dibangun
pada
abad
ke-8.
Saya
pernah
mendengar
bahwa
wisatawan
mancanegara
jika
berkunjung
ke
Borobudur
di
low
season
(berarti
minim
wisatawan
baik
domestik
maupun
mancanegara),
selalu
menggunakan
jasa
guide.
Kebanyakan
dari
mereka
akan
mendengarkan
dengan
penuh
perhatian
semua
hal
yang
diceritakan
guide,
dan
yang
lebih
penting
kebanyakan
dari
mereka
akan
mematuhi
peraturan
yang
diberikan
oleh
petugas
ataupun
guide.
Konon,
salah
satunya
adalah
tidak
boleh
memegang
relief
karena
minyak
dan/atau
keringat
di
telapak
tangan
kita
memiliki
efek
korosif
untuk
batuan
yang
sudah
berusia
ratusan
tahun.
Apa
yang
saya
lihat
dari
wisatawan
domestik
kita
sangatlah
berbeda.
Memanjat
dinding
stupa
adalah
hal
yang
biasa,
apalagi
sekedar
duduk-duduk
di
tepi
stupa
atau
meraba
relief,
atau
bahkan
berusaha
merogoh
patung
Buddha
di
dalam
stupa.
Sudah
diperingatkan
pun
tidak
akan
ada
efeknya.
Duh,
jangankan
di
candinya,
baru
masuk
ke
tempat
parkir
mobil
pun
sudah
tidak
ada
aturan
yang
dituruti.
Parkir
serampangan
dan
seenaknya
adalah
hal
biasa,
apalagi
ketika
musim
liburan
di
mana
para
tukang
parkir
yang
jumlahnya
sedikit
itu
sampai
kewalahan
dan
bingung
mau
mengarahkan
mobil
yang
mana
lebih
dulu.
Luar
biasa
bukan,
bangsa
kita
yang
kita
banggakan
ini,
yang
ternyata
menghina
dirinya
sendiri.
Bravo!
Rasanya
cukup
pas
kalau
artikel
ini
dipublikasikan
di
tanggal
17
Agustus
2014.
Oke
kita
sudah
merdeka,
dan
banyak
yang
mempertanyakan
apakah
kita
sudah
benar-benar
merdeka.
Pertanyaan
lain
yang
mungkin
bisa
diajukan
adalah:
merdeka
dari
siapa?
Because
our
greatest
adversary
is
indeed
ourselves.
Jadi,
yuk
kita
mulai
dari
diri
sendiri
mengubah
sikap.
Baca
semua
aturan
dengan
teliti,
dengarkan
semua
perkataan
petugas
atau
guide,
dan
patuhi
semuanya
dengan
disiplin.