Lebaran tahun ini menjadi terasa berbeda karena baru kali ini aku harus menemani beberapa saudara yang datang dari jauh untuk berkeliling kota, dan bahkan hingga sampai ke Candi Borobudur. Begitu megahnya candi ini dengan ratusan stupa, patung Buddha, dan relief di dindingnya, apalagi mengingat candi ini dibangun pada masa kejayaan Dinasti Syailendra di abad ke-8. Begitu pentingnya Candi Borobudur sebagai peninggalan para leluhur kita, sampai-sampai UNESCO pun mengangkatnya sebagai World Heritage Site.
Bangga nggak sih kita punya peninggalan kebudayaan yang sedemikian hebat?
Oke, bangga itu biasa, semua orang juga bisa bangga, padahal bukan kita yang bikin candi itu, nenek moyang kita lah yang entah bagaimana caranya memahat ribuan batu dan menyusunnya satu-persatu sehingga bisa kita bangga-banggakan sekarang sebagai salah satu tempat ibadah umat Buddha yang terbesar di dunia.
Pertanyaan berikutnya adalah: sadar nggak kalau Borobudur itu milik kita? Kalau milik kita dan kita bangga memilikinya, seharusnya kita rawat nggak?
Beberapa foto di bawah ini menceritakan bagaimana bangsa kita menghargai warisan nenek moyangnya, yang juga adalah tempat ibadah untuk saudara-saudara kita umat Buddha.
Coba kalau ada orang yang melanggar batas suci masjid di kampung, atau ada orang tua yang mengajari anaknya penekan ke atas altar di Gereja Kotabaru Yogyakarta, pasti akan ada orang yang protes. Sama saja di Candi Borobudur, ini tempat ibadah, bung! Sudah terlalu banyak pula berita tentang betapa ganasnya para fotografer ketika memotret upacara Waisak di Candi Borobudur. Kalau kita sedang Misa Malam Natal atau Sholat Ied, lalu ada fotografer yang seenaknya nyak-nyakan di depan kita jeprat-jepret dengan lampu kilat menyala-nyala, kira-kira ibadah kita khusyuk nggak?
Itu dari sisi fungsi Candi Borobudur sebagai tempat ibadah. Belum lagi statusnya sebagai candi yang dibangun pada abad ke-8. Saya pernah mendengar bahwa wisatawan mancanegara jika berkunjung ke Borobudur di low season (berarti minim wisatawan baik domestik maupun mancanegara), selalu menggunakan jasa guide. Kebanyakan dari mereka akan mendengarkan dengan penuh perhatian semua hal yang diceritakan guide, dan yang lebih penting kebanyakan dari mereka akan mematuhi peraturan yang diberikan oleh petugas ataupun guide. Konon, salah satunya adalah tidak boleh memegang relief karena minyak dan/atau keringat di telapak tangan kita memiliki efek korosif untuk batuan yang sudah berusia ratusan tahun. Apa yang saya lihat dari wisatawan domestik kita sangatlah berbeda. Memanjat dinding stupa adalah hal yang biasa, apalagi sekedar duduk-duduk di tepi stupa atau meraba relief, atau bahkan berusaha merogoh patung Buddha di dalam stupa. Sudah diperingatkan pun tidak akan ada efeknya.
Duh, jangankan di candinya, baru masuk ke tempat parkir mobil pun sudah tidak ada aturan yang dituruti. Parkir serampangan dan seenaknya adalah hal biasa, apalagi ketika musim liburan di mana para tukang parkir yang jumlahnya sedikit itu sampai kewalahan dan bingung mau mengarahkan mobil yang mana lebih dulu.
Luar biasa bukan, bangsa kita yang kita banggakan ini, yang ternyata menghina dirinya sendiri. Bravo!
Rasanya cukup pas kalau artikel ini dipublikasikan di tanggal 17 Agustus 2014. Oke kita sudah merdeka, dan banyak yang mempertanyakan apakah kita sudah benar-benar merdeka. Pertanyaan lain yang mungkin bisa diajukan adalah: merdeka dari siapa?
Because our greatest adversary is indeed ourselves.
Jadi, yuk kita mulai dari diri sendiri mengubah sikap. Baca semua aturan dengan teliti, dengarkan semua perkataan petugas atau guide, dan patuhi semuanya dengan disiplin.
Mulai. Dari. Diri. Sendiri.
Merdeka!
13 Comments