Bulan
puasa
di
Indonesia
selalu
adalah
bulan
yang eventful.
Tak
terkecuali
di
Yogyakarta.
Salah
satu
hal
yang
pasti
muncul
di
saat
bulan
puasa
adalah
pasar
takjil.
Mendadak
semua
orang
ingin
berjualan
takjil
dan
jalanan
pun
menjadi
lebih
ramai
daripada
biasanya
di
jam-jam
menjelang
saat
berbuka
puasa.
Bagi
orang
yang
suka
berburu
makanan
dan
cemilan
tradisional
khas
daerah
masing-masing,
ini
adalah
waktu
yang
tepat!
Pintu
masuk
menuju
ke
Pasar
Sore
Ramadhan
Kauman.
Sebenarnya
hanya
gapura
masuk
ke
gang
di
hari-hari
biasa,
dan
sayang
sekali
spanduk
itu
justru
merusak
pemandangan.
Gang
yang
di
hari
biasa
hanyalah
salah
satu
dari
sekian
banyak
“jalan
tikus”
di
daerah
ini
disulap
menjadi
pasar
jajanan
dan
makanan
yang
meriah.
Seperti
biasa,
harganya
sangat
bersahabat
dengan
kantong
kita,
dan
pilihannya
banyak
sekali.
Berbahagialah
hai
para
penyuka
makanan
dan
cemilan!
Masuk
sekitar
10
meter
ke
dalam
gang,
lalu
keramaian
ini
pun
tampak.
Awas
jangan
sampai
nyasar
masuk
rumah
orang
di
tengah
ramainya
pasar
dadakan
ini.
Aneka
macam
lauk
pauk
tersedia.
Banyak
yang
membawa
serta
suami,
istri,
atau
anak-anaknya
ke
tempat
ini.
Antusiasme
para
pemburu
takjil
terlihat
di
mana-mana.
Mie
goreng,
bihun.
tempe/tahu
bacem,
telur
puyuh,
dan
aneka
jajanan
ala
angkringan
juga
ada.
Rupa-rupa
cemilan
berbagai
bentuk
dan
warna
ada
di
sini.
Jangan
sampai
kehabisan!
Pulang
dari
sini
membawa
clorot
dan
resoles.
Menyenangkan!
Jika
kita
masuk
lebih
jauh
ke
gang
ini,
kita
bisa
melihat
rumah-rumah
penduduk
yang
seringkali
masih
asli
jaman
dulu.
Mungkin
nanti
kapan-kapan
akan
ada photoblog
post
tentang
rumah-rumah lawas
di
seputaran
kampung
Kauman
ini.
Selamat
menikmati
perburuan
takjil,
dan
buat
saudara-saudaraku
yang
beribadah
puasa,
selamat
beribadah, Gusti
tansah
mberkahi.
Apakah
gerangan
Lir?
Atau
mungkin
mundur
selangkah
lagi:
bahasa
apakah
gerangan
kata
“lir”
ini?
Dalam
bahasa
Jawa
pun
ternyata
ia
memiliki
beberapa
makna.
Tapi
untuk
saat
ini,
mari
kita
berkunjung
saja
ke
Lir,
sebuah
tempat
ngobrol
yang
asyik,
tenang, ndhêlik,
dan
hijau.
Di
suatu
sore,
sepulang
kerja,
mendadak
kêpéngén
ke
tempat
ini,
tempat
yang
sudah
lama
masuk
ke
to-do
list
bagian
tempat
nongkrong.
Sayang
sekali
pertama
kali
ke
tempat
ini
ketika
matahari
sudah
terbenam
karena
salah
ingat
alamat
(Jalan
Anggrek
ya
kawan,
bukan
Jalan
Mawar)
dan
keengganan
bertanya
pada
orang
di
sekitar
situ.
Tapi
akhirnya
ketemuuu!
*mrèngès*
Setelah
sekian
lama
tertunda
karena
sok
sibuk
dan
kebanyakan
alasan,
akhirnya
kesampaian
juga
berkunjung
ke
tempat
ini.
Lir,
si
rumah
tua
yang
tersembunyi
meskipun
di
tengah
kota
Jogja.
Lir
ini
menempati
sebuah
rumah
bergaya
arsitektur
indis.
Kebetulan
waktu
mencari
referensi
tentang
arsitektur
ini
(karena
mama
saya
yang
arsitek,
bukan
saya),
saya
menemukan
tulisan
mbak
Sinta
Carolina
(hai
mbak,
lama
tak
jumpa!)
tentang
salah
satu
Heritage
Trail
yang
diadakan
JHS
(Jogja
Heritage
Society).
Di
artikel
itu
ada
beberapa
foto
rumah
bergaya
arsitektur
indis
yang
buatku
asik
banget
bentuknya,
tidak
seperti
rumah
jaman
sekarang
yang
sekedar
kotak-kotak
demi
mengikuti
tren
gaya
minimalis.
Nah,
Lir
ini
menerapkan
apa
yang
disebut
dengan
adaptive
reuse,
yaitu
pengalihan
fungsi
suatu
bangunan
sehingga
ia
tidak
lagi
digunakan
sebagaimana
tujuan
awalnya,
dengan
tidak
mengubah
apalagi
merusak
bangunan
itu.
Justru
sebisa
mungkin
memugar
bangunan
sehingga
bisa
sebagus
aslinya.
Ini
adalah
konsep
yang
sangat
dipromosikan
oleh
JHS.
Banyak
sekali
bangunan-bangunan
bergaya
indis,
atau
bahkan
bangunan
asli
Jawa
(rumah
Jawa
lengkap
dengan
senthong
kiwa
dan
senthong
tengen)
di
Yogyakarta
tercinta
ini
yang
sudah
diprèthèli,
diubah
demi
modernisasi,
atau
bahkan
dirubuhkan
total/sebagian.
Kekayaan
arsitektural
kita
sesungguhnya
sangat
banyak,
éman-éman
kalau
tidak
kita
jaga
dengan
baik.
Oke,
sekian
tentang
arsitektur
dan
sejarah.
Sekarang
mari
kita
masuk
ke
Lir!
Beranda
depan
Lir,
didominasi
meja-kursi
kayu,
signage
kayu,
dan
kotak
surat
di
dinding.
Masuk
ke
beranda
langsung
disambut
tegel,
ubin
jaman
dulu
yang
berwarna
abu-abu.
Seperti
di
rumah
eyang.
Masuk
pertama
kali
dan
kami
disambut
buku!
Lemari
buku
mendominasi
salah
satu
dinding
ruang
baca.
Banyak
buku
bagus
di
sini
untuk
dibaca
selama
berkunjung.
Sofa
itu
terlihat
nyaman,
untuk
mojok
sambil
baca
buku
ditemani
secangkir
teh
atau
kopi.
Even
the
gnome
encourages
us
to
read.
It’s
free!
Masuk
agak
lebih
jauh,
dan
kami
menemukan
definisi
Lir
menurut
para
pendirinya.
Lir,
defined.
Sementara
itu,
di
depan
meja
kasir
ada
sekumpulan
buku-buku
mungil
yang
bisa
dibeli.
Konsep
tempat
ini
memang
curiosity
shop,
jadi
entah
apa
yang
bisa
kita
temukan
yang
dijual
di
sini.
Sedikit
koleksi
buku
dan
pernak-pernik.
Sebenarnya
masih
lebih
banyak
lagi
koleksi
mereka,
hanya
saja
sedang
tidak
ditampilkan
karena
art
space
barusan
digunakan
untuk
pameran.
30K
can
get
you
something.
Di
tembok
pun
ada
dekorasi
unik
bertabur
pernak-pernik.
Lalu
aku
menemukan
Fujica!
Entah
seri
apa
gerangan
ini
kakaknya
Fumiko,
dan
sayangnya
sepertinya
sudah
tidak
bisa
dipakai
lagi.
Tapi
tetap
saja,
pajangan
yang
menarik.
Hai
Fujica,
kenalkan
ini
Fumiko
adikmu.
Beranjak
ke
samping,
sudah
ditata
meja-kursi
yang
sederhana,
bertemakan
warna
hijau,
dan
tetap
dengan
dekorasi
yang
unik.
Area
makan
di
samping
rumah.
Bunga
Lampu
(Plenthongicus
baciroensis)
Berbekal
satu
buku
besar
dan
beberapa
brosur
menarik,
mendaratlah
kami
di
salah
satu
meja,
dan
disambut
dengan
Hot
Black
Tea
dan
Homemade
Ginger
Ale
pesanan
kami.
Guedhé
sekali
ya
itu
tempat
minumnya…
Marai
blendingen…
Sebuah
buku
besar,
segelas
Black
Tea,
dan
segendul
Homemade
Ginger
Ale.
Sebentar,
ada
yang
menarik
perhatian
di
belakang
meja
kami!
Kambing?
Domba?
Unicorn?
Entahlah…
Sebelum
makan,
kami
sempat
ketemu
dengan
mas
Dito,
sang
empunya
Lir.
Dia
dan
istrinya,
Mira,
ternyata
adalah
pekerja-pekerja
seni.
Pantas
saja
tempat
ini
asik
dan
unik
dekorasinya.
Mas
Dito
ini
ternyata
temanku
satu
carpool
semasa
SD.
Setelah
diberi
tur
keliling
rumah
dan
ditunjukkan
exhibition
space
di
dalam
(ada
beberapa
ruangan
kecil,
tidak
sempat
difoto
karena
kondisi
sedang
berantakan
sehabis
pameran),
ternyata
eh
ternyata
dia
kenal
dengan
Muntah
Jerapah
alias
Yudha
Sandi,
tandemnya
Gracy
Sondang
si
tukang
kawat.
Dan
tak
dinyana,
mereka
berdua
datang
ke
Lir
juga
malam
itu.
Oh
my,
what
a
small
world!
Setelah
ngobrol,
pesanan
kami
datang,
yay!
Macaroni
Carbonara.
Menurutku
agak
kurang
berkuah,
saus
kental
carbonara
yang
memang
aku
cari.
Tapi
rasanya
cukup
oke
kok.
Macaroni
Tomato,
masih
lebih
enak
versi
carbonaranya,
tapi
ini
pun
juga
cukup
enak.
Jamur
goreng
yang
kress
kress
dan
buanyak!
Ini
menu
tambahan
pesenan
si
unyil
Sondy
Garcia:
Potato
Wedges
&
Potato
Skin.
Homemade
Ginger
Ale:
Rp
20.000
Black
Tea
Hot:
Rp
5.000
Macaroni
Tomato:
Rp
20.000
Macaroni
Carbonara:
Rp
20.000
Friend
Mushroom:
Rp
15.000
Total
Biaya:
Rp
80.000
untuk
2
orang
Wi-Fi:
available
Colokan
listrik:
sepertinya
agak
susah
Taken
at
Monkey
Forest,
Ubud,
Bali.
Sweet
as
they
are,
if
you
have
bananas
in
hand,
they
can
be
real
vicious.
Never
disrespect
wildlife,
or
you
can
get
hurt.
Bardiman.
Entah
nama
siapa
itu
kok
bisa
jadi
nama
warung.
Salah
satu
pelanggannya
malah
bilang
barangkali
itu
semacam
pisuhan
yang
disamarkan
#bardimantenan.
Warung
Kopi
Bardiman
adalah
sebuah
warung
kopi
yang
buka
24
jam
di
Seturan,
Yogyakarta.
Bertajuk
“warung
kopi”,
tempatnya
cukup
terang,
bersih,
dan
didominasi
warna
alami
kayu.
Setiap
kali
aku
lewat
di
Jalan
Seturan
Raya,
tempat
ini
selalu
kebak
mencep,
dan
jalanan
pun
sangat
padat,
jadi
malas
buat
berhenti
mampir.
Untungnya
malam
itu
sepi
nyenyet,
jadi
aku
bisa
bebas
mengambil
gambar.
Warung
Kopi
Bardiman
versi
sepi
nyenyet.
Sayangnya
si
VW
Beetle
yang
biasa
nangkring
di
parkiran
sedang
ngeluyur
entah
ke
mana.
Bar-nya
Bardiman,
lengkap
dengan
gitar,
cello,
dan
Turkish
oud.
Banyak
kutipan
tersebar
di
sini,
dan
ini
salah
satu
yang
pertama
kali
kubaca.
Koleksi
kopi
yang
dipajang
di
bar:
Toraja,
Wamena,
dan
kawan-kawan.
Mengintip
di
belakang
bar,
masih
banyak
koleksi
kopi
seluruh
Nusantara,
termasuk
kopi
luwak.
Di
sebelah
kanan
bar,
ada
beberapa
kaleng
kerupuk
dan
timbangan,
menampilkan
juga
kopi
Bengkulu
dan
kawan-kawannya.
Grinder
yang
digunakan
di
sini.
Sayangnya
dia
hanya
menawarkan
menu
kopi
tubruk
dan
siphon
coffee.
Akan
sangat
keren
jika
di
sini
ada
mesin
presso.
Kesan
pertama
adalah
betapa
banyaknya
koleksi
kopi
yang
dia
miliki.
Semuanya
dari
Nusantara.
Semoga
saja
dia
juga
paham
betul
bagaimana
cara
menyimpan
stok
kopinya
yang
hebat
ini
supaya
tetap
nikmat
ketika
disajikan.
Apalagi
kalau
sampai
ada
mesin
presso.
Joss!
Berikutnya,
mari
kita
melihat-lihat
suasana
dan
dekorasi
di
dalam
warung
kopi
ini.
Suasana
di
lantai
1.
Ini
sepi.
Kalau
rame
gak
akan
bisa
motret
apa-apa
karena
pasti
ketutupan
lautan
manusia.
Dekorasinya
boleh
juga,
dengan
macam-macam
kutipan
di
sana-sini.
Pramoedya
pun
bersanding
dengan
Aristotle.
Salah
satu
elemen
dekorasi
lain
yang
menarik
adalah
lukisan
dinding.
Ini
salah
satunya
di
lantai
2.
Soekarno
pun
dilukis
di
dinding.
Malam
ini
dia
berdinas
sendirian,
si
Beetle
entah
ke
mana.
Baiklah,
selesai
sudah
melihat-lihat.
Kini
saatnya
mengisi
perut.
Aku
memesan
kopi
tubruk
Wamena
dan
seporsi
omelette.
Emangnya
kenyang
makan
telur
dadar
doang?
Tunggu…
Kopi
tubruk
Wamena.
Penyajiannya
cukup
sederhana,
khas
warung
kopi.
Soal
rasa,
aku
tetap
lebih
berselera
pada
kopi
yang
diseduh
dengan
presso.
Tapi
ini
pun
sudah
lumayan
enak.
Nah,
lalu
apakah
gerangan
yang
dimaksud
omelette?
Ternyata
ia
adalah
pizza
indomie
kawan-kawan!
Ini
makanan
wajib
anak
kos
dari
jaman
tahun
2000-an
awal.
Sedikit
di
luar
perkiraan,
tapi
oke
juga.
Maka
kenyanglah
saya.
Kopi
Tubruk
Wamena:
Rp
15.000
Omelette:
Rp
10.000
Total
biaya:
Rp
25.000
Lumayan
lah
buat
pertama
kali
ke
sini.
Akan
kah
kembali
lagi?
Tergantung
apakah
ramai,
karena
tempat
yang
terlalu
ramai
lalu
menjadi
tidak
menyenangkan
buatku
untuk
bersantai
dan
minum
kopi.
I
took
this
picture
at
Ayana
Resort,
Jimbaran,
Bali.
We
had
planned
to
go
to
Rockbar
and
lounge
there
while
enjoying
the
sunset,
but
the
queue
was
quite
long
and
we
decided
to
just
linger
around
the
gardens.
As
it
turns
out,
the
view
was
not
less
breathtaking.
Up
from
the
gardens,
we
could
see
Rockbar
below
us,
and
it
makes
for
this
scene.
Had
we
decided
to
go
on
down
there,
it
would
have
taken
us
an
elevator
ride,
cost
us
about
USD20
per
person
just
for
one
drink,
and
because
of
the
queue
we
would’ve
missed
the
sunset
altogether.
This
is
Yoga,
taking
a
break
after
wandering
around
in
Kebun
Raya
Bedugul.
Lush
green
views
like
this
have
become
a
luxury
for
city
dwellers
who
are
accustomed
to
concrete
jungles
and
skyscrapers.
Yoga’s
camera,
one
of
many
I
will
borrow
or
tinker
with
through
the
course
of
my
learning.
I
still
can’t
afford
to
buy
a
DSLR
at
the
moment
because
I
have
a
few
other
things
higher
up
the
priority
scale.
Luckily,
I’m
surrounded
by
photography
enthusiasts,
so
starting
to
learn
something
is
as
easy
as
borrowing
one
of
their
cameras.