Lebaran tahun ini menjadi terasa berbeda karena baru kali ini aku harus menemani beberapa saudara yang datang dari jauh untuk berkeliling kota, dan bahkan hingga sampai ke Candi Borobudur. Begitu megahnya candi ini dengan ratusan stupa, patung Buddha, dan relief di dindingnya, apalagi mengingat candi ini dibangun pada masa kejayaan Dinasti Syailendra di abad ke-8. Begitu pentingnya Candi Borobudur sebagai peninggalan para leluhur kita, sampai-sampai UNESCO pun mengangkatnya sebagai World Heritage Site.
Bangga nggak sih kita punya peninggalan kebudayaan yang sedemikian hebat?
Oke, bangga itu biasa, semua orang juga bisa bangga, padahal bukan kita yang bikin candi itu, nenek moyang kita lah yang entah bagaimana caranya memahat ribuan batu dan menyusunnya satu-persatu sehingga bisa kita bangga-banggakan sekarang sebagai salah satu tempat ibadah umat Buddha yang terbesar di dunia.
Pertanyaan berikutnya adalah: sadar nggak kalau Borobudur itu milik kita? Kalau milik kita dan kita bangga memilikinya, seharusnya kita rawat nggak?
Beberapa foto di bawah ini menceritakan bagaimana bangsa kita menghargai warisan nenek moyangnya, yang juga adalah tempat ibadah untuk saudara-saudara kita umat Buddha.
Coba kalau ada orang yang melanggar batas suci masjid di kampung, atau ada orang tua yang mengajari anaknya penekan ke atas altar di Gereja Kotabaru Yogyakarta, pasti akan ada orang yang protes. Sama saja di Candi Borobudur, ini tempat ibadah, bung! Sudah terlalu banyak pula berita tentang betapa ganasnya para fotografer ketika memotret upacara Waisak di Candi Borobudur. Kalau kita sedang Misa Malam Natal atau Sholat Ied, lalu ada fotografer yang seenaknya nyak-nyakan di depan kita jeprat-jepret dengan lampu kilat menyala-nyala, kira-kira ibadah kita khusyuk nggak?
Itu dari sisi fungsi Candi Borobudur sebagai tempat ibadah. Belum lagi statusnya sebagai candi yang dibangun pada abad ke-8. Saya pernah mendengar bahwa wisatawan mancanegara jika berkunjung ke Borobudur di low season (berarti minim wisatawan baik domestik maupun mancanegara), selalu menggunakan jasa guide. Kebanyakan dari mereka akan mendengarkan dengan penuh perhatian semua hal yang diceritakan guide, dan yang lebih penting kebanyakan dari mereka akan mematuhi peraturan yang diberikan oleh petugas ataupun guide. Konon, salah satunya adalah tidak boleh memegang relief karena minyak dan/atau keringat di telapak tangan kita memiliki efek korosif untuk batuan yang sudah berusia ratusan tahun. Apa yang saya lihat dari wisatawan domestik kita sangatlah berbeda. Memanjat dinding stupa adalah hal yang biasa, apalagi sekedar duduk-duduk di tepi stupa atau meraba relief, atau bahkan berusaha merogoh patung Buddha di dalam stupa. Sudah diperingatkan pun tidak akan ada efeknya.
Duh, jangankan di candinya, baru masuk ke tempat parkir mobil pun sudah tidak ada aturan yang dituruti. Parkir serampangan dan seenaknya adalah hal biasa, apalagi ketika musim liburan di mana para tukang parkir yang jumlahnya sedikit itu sampai kewalahan dan bingung mau mengarahkan mobil yang mana lebih dulu.
Luar biasa bukan, bangsa kita yang kita banggakan ini, yang ternyata menghina dirinya sendiri. Bravo!
Rasanya cukup pas kalau artikel ini dipublikasikan di tanggal 17 Agustus 2014. Oke kita sudah merdeka, dan banyak yang mempertanyakan apakah kita sudah benar-benar merdeka. Pertanyaan lain yang mungkin bisa diajukan adalah: merdeka dari siapa?
Because our greatest adversary is indeed ourselves.
Jadi, yuk kita mulai dari diri sendiri mengubah sikap. Baca semua aturan dengan teliti, dengarkan semua perkataan petugas atau guide, dan patuhi semuanya dengan disiplin.
Sekali-sekali lah aku menulis lagi tentang perjalanan yang random.
Bandung, kota yang aku ingin kunjungi dari sejak lama, bahkan sempat aku bercita-cita kuliah di ITB. Kota yang sebelum ini hanya sempat kusambangi hanya beberapa hari saja (kalau tidak boleh disebut beberapa jam). Akhirnya semesta memberiku peluang berkunjung ke Bandung, dan tidak tanggung-tanggung, seminggu lamanya!
So here’s my story…
Awalnya ini adalah tugas resmi dari kantor, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor cabang Bandung. Senin hingga Rabu, bersama seorang kawan yang meskipun baru kukenal tapi adalah seorang traveller ulung. Lalu kami putuskan: cuti di hari Kamis dan Jumat!
Hari Pertama: 5 Mei 2014
Kami awali hari dengan tetap ngantor di Jogja, menyelesaikan beberapa hal yang memang harus selesai di Jogja, lalu ke bandara kami pergi. Airplanes: one of my favorite things in the world. Kami akan naik ATR-72, karena hanya dengan pesawat itu kami bisa pergi ke Bandung. Jarang-jarang ada kesempatan naik pesawat baling-baling yang terbang sedikit lebih rendah daripada jet Boeing atau Airbus. Delightful!
Setelah sesorean di kantor Bandung, beranjaklah kami ke kos eksklusif d’Paragon Bandung, di kawasan Setrasari. Setelah settling down dan berbersih diri, kami keluar lagi, naik angkot random yang ternyata ke Pasir Kaliki. Mengapa kami turun di Pasir Kaliki? Gampang saja, semua penumpang sudah turun kecuali kami, lalu si aa’ supir angkot tanya kami mau ke mana. Tidak punya jawaban, kami turun saja…
Lalu kami menemukan Kafetaria 170. Aku memesan risoles beef, dan kak Ulin memesan roti kukus dengan isi beef ham & eggs. Ternyata roti kukusnya segede gaban, dan risoles nya bener-bener imut bin mungil hahaha… Coffee was so-so, tapi tempatnya cukup asik buat ngobrol.
Setelah kenyang, kami ngangkot lagi ke arah Setrasari, lalu pulang dan tidur.
Hari Kedua: 6 Mei 2014
Setelah kerja seharian di kantor, kami putuskan malam ini kami tidak akan jauh-jauh dari daerah kantor/kos. Kami menemukan Kopi Anjis dan memutuskan nongkrong di situ bersama Dewi. Pisang Gemes Banget, Seblak, Roti Kukus Isi Ham, Kopi Nutella, dan Kopi Hitam menemani obrolan kami malam itu. I wish I could say otherwise, but the coffee was just not to my liking.
Masih penasaran dengan kopi, kami beralih ke Kopi TiamHochiak di Plaza Setrasari. The coffee was much, much better! Sayangnya jam buka tidak sampai larut malam jadi kami harus segera pulang.
Hari Ketiga: 7 Mei 2014
Setelah ngantor seharian dan membawa semua bawaan kami ke kantor (baju buat jalan-jalan + laptop + kertas segepok itu berat kawan!), kami harus naik taksi dari kawasan Setrasari ke Dago Atas, tempat kami menginap selanjutnya. Kak Ulin yang menemukan tempat ini, bernama BantalGulingGuesthouse.
Di taksi kami sudah bingung, ini kok jalan masuknya jauuuh sekali. Tapi begitu check-in dan melihat pemandangan dari teras kamar kami (bunk beds! ^^), kami diam. It was gorgeous! Kalau pernah lihat kota Jogja dari atas Bukit Bintang (Jalan Wonosari), semacam itu tapi versi gedenya lah. Dan itu kelihatan dari teras depan kamar! Delightful!
Lalu kami lapar. Jalan lah kami keluar, sekitar 20 menit berjalan kaki. Di jalan keluar kami menemukan semacam factory outlet yang saya lupa namanya, dan keluar lagi ke jalan Juanda dan ternyata dekat dengan Terminal Dago.
Batagor! Kami lapar dan melahap batagor di pinggiran terminal, dilayani oleh teteh-teteh yang membedakannya dengan pelanggan pun kami sulit. Bening. Kenyang perut, kenyang batin pula.
Hari Keempat: 8 Mei 2014
Bantal Guling ini agak unik rupanya. Meskipun kamar untuk 2 orang dan kasur juga ada 2 (bunk beds! ^^), selimut hanya ada satu, begitu pun handuk. Masih di laundry katanya. Ya sudahlah, toh kami datang well-prepared…
Kami bangun kepagian, seperti biasa, lalu memutuskan jalan-jalan ke sekitar kampung. Lalu kami menemukan ini:
Ternyata kami dekat sekali dengan sekolah yang tidak biasa ini. Keren! Bisa melihat soang dan ikan dan alam. Meskipun cita-cita luhurku numpak kebo belum terpenuhi, ini pun sudah cukup menggembirakan.
Sarapan di guesthouse adalah nasi goreng tanpa kecap, mie goreng, telur dadar, dan teh/kopi panas bikin sendiri. Setelah makan dan mandi, kami memutuskan untuk “main kanan-kiri”, which is another way of saying “random choice”. Angkot pertama yang lewat kami naiki, dan sampailah kami di Stasiun Hall Bandung. Salah satu ide kami adalah naik kereta ke stasiun kecil entah di mana, lalu jalan-jalan random lagi.
Oiya, perkenalkan, ini adalah Mulyadi, yaitu buntutnya kak Ulin. Karena kami tak begitu suka difoto, beliau lah yang akan menjadi foto model apabila diperlukan. d[^^v]b
Sampai stasiun jam 9.24 pagi. KRD Ekonomi Bandung Raya trayek Padalarang-Cicalengka tampak menarik. Tepatnya, Cicalengka tampak menarik. Oke, lihat jadwal. Tujuan Cicalengka berangkat sekitar 10.30. Tujuan Padalarang berangkat 10 menit lagi.
Berangkat ke Padalarang! Dan harga tiketnya absurd! Murah tenin.
Sampai Padalarang, keluar kereta, beli tiket, masuk lagi, kali ini ke arah Cicalengka. Cara menghabiskan waktu yang brilian saudara-saudara! Sampai ke Cicalengka, naik angkot, yang ternyata salah jurusan kawan-kawan! Turun lah kami di Nagrek. Iya, Nagrek yang itu, yang biasa nongol ketika ada liputan arus mudik dan arus balik. Emangnya ada apa di Nagrek? Ya memang ga ada apa-apa sih.
Setelah tanya ke ibu-ibu penjaga toilet rest area yang sotoy dan mengira kami hendak “bobogohan di tempat gelap“, kami cari angkot lagi yang ke arah Cicalengka. Kami mau cari curug (air terjun), dan ternyata si aa’ supir angkotnya mau kami sewa buat mengantar kami ke Curug Cinulang. Limapuluh ribu rupiah sekali jalan.
Dan beginilah Curug Cinulang:
Setelah cukup sejuk terkena embun dari curug, kami ngangkot lagi turun. Oiya, di perjalanan dari Cicalengka – Curug Cinulang, pemandangannya bener-bener bikin sejuk deh. Bukit-bukit ladang tembakau dan lembah di kejauhan. Untungnya kami sewa angkot, bukan naik ojek, jadi bisa duduk santai di dalam angkot yang isinya cuma kami berdua sambil ngobrol santai dan menikmati pemandangan. Sampai di bawah, si aa’ kami ajak (paksa?) makan bareng dengan kami, lalu dia mengantar kami ke stasiun Cicalengka. Kali ini, kami naik KRD Patas Bandung Raya yang harga tiketnya agak lebih masuk akal: sepuluh ribu rupiah.
Setibanya di Bandung, kami jalan-jalan menyusuri Pasar Baru, random turn, dan kami menemukan toko kopi. Niat kami mencari toko Kopi Aroma Banceuy di Jalan Banceuy, tapi malah menemukan toko kopi lain yang sayangnya aku lupa namanya. Toko itu menjual kopi yang sudah digiling maupun biji kopi yang bisa langsung digiling, dalam toples-toples besar macam wadah kerupuk. Akhirnya kami membeli 2 jenis kopi arabica dan 1 jenis kopi robusta, digiling di tempat. (sayangnya pengemasannya dengan plastik dan di-staples)
Dari toko itu, berbekal petunjuk seadanya dari orang-orang di sekitar kami, kami mencari jalan ke Kopi Aroma Banceuy. Yang terjadi akhirnya adalah kami keblasuk ke Jalan Cibadak, lalu belok-belok-belok entah ke mana, dan akhirnya nangkring di angkot yang ke arah Pasir Kaliki. Di sinilah kekonyolan terjadi…
Kami naik angkot Dago – Caringin. Duduk manis. Diam. Lalu kami bingung. Mana Dago-nya?
Ternyata itu angkot ke arah Caringin, saudara-saudara sekalian! Si aa’ supir nya sebenernya sudah tanya ketika kami naik, “ke Caringin neng?”, tapi kami sibuk dengan aktivitas nggumun bin umbrus kami. Untungnya sempat ditanya si aa’ sebelum masuk ke pasar sesuatu di dekat Caringin, dan dia mengantar kami ke Simpang Dago. Harusnya siiih, kami ngangkot lagi ke Dago Atas, tapi lalu kami terpikat ini…
Kopi Kamu! Naaah… akhirnya kami ngopi di situ, dengan kopi yang freshly ground juga. Harganya 85 ribu untuk 100 gram biji kopi, yang bisa dibikin sekitar 5 cangkir kopi. Ditemani kawan kami yang memang berkantor di Bandung, kami menghabiskan waktu ngobrol sampai tidak ada lagi angkot, dan akhirnya kami bertaksi kembali ke Bantal Guling.
Menyenangkan 🙂
Hari Kelima: 9 Mei 2014
Setelah sarapan di guesthouse, kami menemukan banner Soundsations: Road to Soundrenaline. Menarik! Tampaknya bisa buat tempat nongkrong kami nanti malam.
Lanjut, kami ngangkot dan iseng-iseng masuk ke kampus ITB. Baru sekali ini aku masuk ke kampus ITB, dan memang agak ngangeni ketika melihat adik-adik lucu yang berjalan kesana kemari dengan segala “kesibukan” tugas, kuliah, ujian, dan lain-lain. Kami sempatkan beli jus buah dan makan mie instan di kantin kampus, dan saudara-saudaraku sekalian, bahagia adalah ketika aku membeli gorengan lalu ditanya oleh ibu-ibu penjualnya: “Adek mau beli apa?“
Bahagia itu sederhana.
Dari ITB, kami keluar lewat pintu belakang (dekat lapangan softball), lalu jalan kaki lagi ke salah satu persimpangan di situ. Naik angkot lagi lah kami, melihat-lihat suasana kota, dan nyangkut di jalan entah apa namanya yang banyak kampusnya. Ada semacam STIE di situ, tapi lupa juga namanya apa. Tampak kurang menjanjikan, kami naik angkot lagi ke arah berlawanan. Lalu aku tertidur…
Tiba-tiba kak Ulin membangunkanku dan langsung menunjuk ke tepi jalan. Kafe! Spontan aku teriak, “Kiri!”, dan tersangkutlah kami di KopiProgo.
Kami ini orang-orang yang betah ngafe, dan saat itu bukan perkecualian. Meskipun rambut kami berantakan, badan berkeringat, dan muka udah kucel semacam baju belum disetrika, boleh lah kami menikmati sepiring panekuk dengan topping keju dan kismis, dan menenggak segelas Progo Iced Coffee dan Green Tea something (maap saya lupa).
Setelah puas ngafe, target kami selanjutnya adalah cilok! Jadi keluar kafe, persis di sebelahnya, kami jajan cilok. Dengan cabe sedikit pun, kami kepedesan, kepanasan pula, tapi bahagia karena sudah ngicip cilok di Bandung. #penting
Kami ngangkot lagi ke arah Dago Atas, dengan maksud mau ke Dago Tea House. Sekali lagi kami tersangkut, kali ini di pasar entah apa namanya di Jalan Juanda. Cita-cita kami sekali lagi sederhana kawan, mencari es tebu. Tapi kami cukup bahagia dengan pisang goreng yang menarik ini.
Sesampainya di Dago Tea House, kami baru tau bahwa ternyata ini event gratisan! Kami masuk, dan mendapati musik yang menyenangkan di telinga kami. Kalau tidak salah, ada 3 band yang menarik buat kami: Under The Big Bright Yellow Sun, A.F.F.E.N., dan PolyesterEmbassy. Sayangnya setelah itu kami dibuat bosan oleh stalling yang terlalu lama dan garing, lalu kami pulang.
Hari Keenam: 10 Mei 2014
Akhirnya kawan-kawan kami dari Jogja datang: Augus, Diah, dan Dali. Datang lalu tidur. Ya iyalah soalnya datangnya pagi subuh. Lalu kami pindah kamar dan bergabung bersama mereka, sekamar berlima. Setelah sarapan standar dan ngobrol sejenak, kami beranjak keluar dan naik angkot ke Simpang Dago. Di jalan kami putuskan untuk ke Lembang, jadi kami ganti angkot ke Sukajadi, lalu ke Lembang. Sampai di Lembang, bingung antara mau ke Maribaya atau ke Observatorium Bosscha, akhirnya kami memutuskan naik ojek ke Bosscha.
Sampai di Bosscha jam 12.45, kami langsung berburu satpam buat ditanyai beli tiketnya di mana. Ternyata saudara-saudara, hari Sabtu adalah hari kunjungan bebas, dan ditutup jam 1 siang! Mepet sekali! Beruntung kami masih bisa dapat tiket masuk dan tidak perlu reservasi seperti hari lain. Sungguh beruntunglah saya, karena ini salah satu tempat yang saya ingin datangi sejak dari lamaaa sekali.
Setelah puas mengagumi salah satu teropong bintang dan ngobrol santai dengan bapak pemandu, kami pun lapar, lalu memutuskan mencari makan. Tapi untuk cari makan maka harus cari angkutan dulu. Jalan kaki lah kami turun ke jalan utama Lembang, sekitar 1 km jauhnya, lalu mencegat angkot. Eh lah, si angkot naik lagi ke jalan yang tadi. Lalu kami diturunkan di jalan kecil, dekat Floating Market Bandung.
Sebenernya tertarik sih mencoba ke situ, tapi dari sejak masuk ke parkiran kami sudah diuber-uber sama tukang parkir yang merangkap tukang palak, annoying sekali. Hilang lah mood kami. Akhirnya naik angkot lagi turun, menuju ke Rumah Sosis yang tadi sudah kami lihat waktu perjalanan menuju Lembang.
Daaan… ternyata Rumah Sosis ini tempat rekreasi dengan kolam renang saudara-saudara! Sosisnya cuma dikit hahaha… Tak apalah, yang penting ada tempat nyangkruk dan rehat sejenak. Setelah perut berisi dan badan sedikit lebih segar, kami ngangkot lagi menuju ke kota Bandung. Ingin pulang, kami turun di Pasir Kaliki dan sekali lagi naik angkot jurusan Caringin – Dago. Tak ingin tertipu lagi, kali ini aku konfirmasi ke supirnya bahwa ini angkot menuju Dago. Aman.
Sampai di Simpang Dago, si angkot luruuus aja. Nggg… harusnya kan belok kiri ya, masuk ke Juanda, lalu ke atas sampai Terminal Dago. Ternyata bukan, saudara-saudara! Entah karena sudah lewat maghrib, atau supirnya iseng, atau memang jalurnya begitu, yang dimaksud Caringin – Dago adalah dari Caringin ke Simpang Dago, bukan Terminal Dago. Tertipu lagi…
Akhirnya setelah putar-putar di Bandung timur entah di mana, balik lagi ke Simpang Dago, kami ganti angkot jurusan Kalapa – Dago. Kali ini bener. Sampai di Terminal Dago, beli batagor idaman kak Diah dan sebutir nanas idaman kak Ulin, lalu pulang, mandi, makan, dan nongkrong di guesthouse.
Hari Ketujuh: 11 Mei 2014
Kami malas. Bangun sih pagi ya, tapi bermalas-malasan di kamar dan baru berangkat sekitar tengah hari. Mengangkot lah kami ke Stasiun Hall dan mencari tempat penitipan barang. Ternyata ada, di seberang pintu selatan, di semacam warung kelontong. Setelah hilang beban berat kami, lalu Braga menjadi tujuan berikutnya.
Kata orang: “ke sana aja teh, nanti ada Bank Jabar, nah itu belok kiri, udah deh Braga”. Well, he forgot to mention that it was a 2 km walk. Tapi gapapa sih, malah asik menyelusup menyelinap di keramaian Pasar Baru. Sampai di Braga, karena memang masih siang ya, jadi puanasnyaaa… Akhirnya kami nyangkut di Braga Huis, tempat pertama yang menawarkan keteduhan dan penghilang dahaga.
Dapet Stella Artois donk di sana. Ndeso ya? Biarin lah, susah cari Stella Artois di Jogja.
Setelah puas menenggak minuman se-gendul, kami lanjut lagi jalan menyusuri Braga, dan tersangkut di sebuah gedung tua milik PGN yang ternyata sedang digunakan untuk pameran desain produk. Nyam! Lumayan lah dapat hiburan gratis lagi.
**karena saya suka sekali pesawat, dan kebetulan hanya ada foto ini (pun yang memotret adalah kak Ulin), maka ya sudah lah hehehe…
Setelah puas di pameran, kami jalan lagi donk kembali menuju Stasiun Hall. Di jalan menemukan Wiki Koffee, tapi sayangnya tempat itu sudah berubah menjadi tempat ngumpul anak-anak muda hipster. Ya sudahlah, lanjut saja, toh sudah hampir waktunya pulang ini.
Lalu kami tiba di stasiun dan pulaaang…
Hari Kedelapan: 12 Mei 2014
Setibanya di Jogja, sekitar jam 4.30 pagi, kami langsung ke mess kantor, numpang tidur sejenak dan berbersih diri, lalu ngantor lah kami. *kriyip-kriyip*
Itu, saudara-saudara yang budiman, adalah perjalanan kami selama seminggu yang nyaris tanpa rencana. Sekian.
What do you want when you decide to spend a lot of money on taking a trip overseas? Even if it’s only a thousand clicks away, not to the other side of the world, you’d want the trip to be a wonderful experience.
I would want three things.
1. Simplicity
I hate to spend a lot of time discussing issues that don’t really need to be discussed. Things like should you bring a backup toothbrush or how many panties you need to carry with you. We’re grown ups. We can deal with personal preferences ourselves; no need to discuss it with your peers, or even bring it up in the forum.
2. Independence
Independence here has two meanings, and I think both of them are important. First, I want to be independent to chose where I want to go, when, and for how long. I’m not saying that compromises are out of the question; I’m saying that when talks get really tough, going our own ways is probably the best option. Second, I do not want people to go somewhere just because I’m also going there. If I suddenly change my mind, it’ll all get messy and somebody’s going to get upset. Not nice.
3. Best Value
Now, this is closely related to independence. What people value most will differ. Maybe I prefer culinary explorations and heritage trails, while you can’t think of anything but shopping, hi-tech 3D movies, and exhilarating roller-coasters. Well, in this case, as I’ve said before, going our own ways is probably better.
Again, I am not saying that compromises are bad; they’re just bad if they start to take a toll on the fun you should be having. The trade-off here is getting what you want by going it alone, or sacrificing something in favor of someone’s company.
So, let’s keep it simple, independent, and for the best value. Instead of trying to make everyone else do what we want, why not let everyone decide for themselves and get together only when it’s feasible and fun to do so.
Kemaren aku pergi backpacking ama Sondang, temennya Kike my new friend yang baru aku temukan sekitar 2 bulan yang lalu setelah sekitar 10 tahun ga pernah ketemu. Gara-gara SMSan ga jelas dan tantang-tantangan, akhirnya kami sepakat aku nemeni dia backpacking ke Jakarta.
Okay, so the journey begins on Saturday. Aku sampe ke Lempuyangan sekitar jam 15.45, langsung beli tiket dan nungguin Sondang. Waktu Sondang datang, tiba-tiba kami ingat belum beli roti buat makan malam dan aku juga belum bawa payung. Jadilah kami lari-lari ke jalan Hayam Wuruk demi 2 bungkus roti dan sebuah payung. Kenapa lari-lari? Karena kami cuma punya waktu sekitar 12 menit **dudulz!!** Dah gitu perjalanan baliknya kehujanan pulak. Untung dah jadi beli payung ^_^
Masuklah kami ke kereta Progo, yang waktu itu masih setengah kosong. Ngobrol buanyaaak banget sampe malem, sampe akhirnya kami ketiduran karena capek. Itupun masih sering bangun gara-gara hiruk pikuk pedagang ini-itu yang lalu-lalang nggak keruan **buset dah**.
Akhirnya ketika adzan subuh berkumandang, sampailah kami di “Setasiun Pasar Senen”. Turun dari kereta, kami langsung cari-cari kamar mandi, tapi sempat nyasar gara-gara Sondang lupa jalannya . Setelah **akhirnya** dia ingat, kami mandi. Kamar mandinya bersih dan airnya juga bersih, dan karena Jakarta panas nggak keruan, mandi jam 4 pagi di sana serasa mandi jam 9 siang di Jogja. Sempat masuk ke kamar mandi yang rada jijay juga sih, karena ada orang pup ga diguyur , but I finally got a clean room.
Selesai mandi, kami beli roti dan susu buat sarapan di toko semacam Indomaret, dan Sondang nitip batere HP-nya buat di-charge di situ **bener-bener impromptu ya ni anak**. Kami makan di ruang tunggu, dan habis itu sempat tidur sekitar setengah jam, bersama para backpacker lain yang entah menunggu apa.
Habis itu, kami mulai jalan ke halte busway. Berangkatlah kami ke arah Stasiun Jakarta Kota. Dari sana, kami jalan ke arah Jalan Asemka, lalu masuk ke Pasar Pagi Asemka. Dasar kami yang terlalu rajin ato mungkin males kelamaan tidur di ruang tunggu, belum ada toko satupun yang buka. Akhirnya kami jalan-jalan entah ke mana, tapi tiba-tiba sampe di jalan yang di kiri-kanan banyak orang jualan snack semacam manisan dan sebagainya. Eits…. ada mobil sport Mercy lewat pula… keren bo….
Tau-tau kami sampe ke daerah yang mirip Pecinan gitu, banyak huruf Cina di mana-mana. Tempatnya mirip pasar, banyak orang bejubel, bertransaksi, tawar-tawaran. Yang unik, kami sempat liat ada orang-orang Satpol PP yang lagi kerja bakti bareng orang-orang situ. Mereka lagi bongkar-bongkar parit yang penuh kotoran item-item nggak jelas. Ada satu orang yang cuma pake celana pendek, tapi hampir seluruh tubuhnya kena kotoran item-item ndak jelas itu tadi. Jadi mirip orang yang barusan mandi aspal.
Sondang sempat tertarik beli roti Liong ato apa itu aku lupa namanya, tapi nggak jadi. Sempat beli kain sprei juga, mau dibikin pernik-pernik. Habis dari situ, balik lagi ke Pasar Pagi Asemka, dan ternyata tokonya tetep banyak yang belum buka **doh**. Akhirnya kami iseng naik ke lantai 2 dan 3, tapi semakin ke atas semakin banyak yang tutup daripada yang buka, dan nggak ada yang jual barang yang dicari Sondang.
Turunlah kami dan keluar kompleks pasar, tanya ke satpam yang akhirnya menjawab bahwa kalo minggu tokonya tutup . Sondang sempat kelihatan down banget dan bete , but she can handle it **hurray!!**. Akhirnya kami ke toko bahan perhiasan imitasi “Kirana”. Nah… di situ Sondang memanjakan diri pilih-pilih bahan ini-itu. Aku sendiri sempat nongkrong di seberang toko, minum Pocari sambil ngobrol sama yang jual Pocari yang ternyata orang Tegal.
Sekitar jam 11 kami masuk lagi ke Asemka, dan akhirnya menemukan beberapa toko alternatif yang menjual barang-barang yang dicari Sondang. Setelah bertransaksi ini-itu dan muter-muter dan sempat kesasar juga di dalam pasar, kami menyatakan sesi belanja di pasar hari itu SELESAI. Jam 12 lebih dikit kami jalan lagi ke Stasiun Kota dan makan di A&W di dalam stasiun. Kami mengistirahatkan kaki yang mungkin udah jalan lebih dari 5 km pagi itu. Akhirnya bisa minum rootbeer lagi! Yeahh!!!
Setelah makan dan istirahat, jam 2 kami balik lagi ke Asemka karena mamanya Sondang telpon dan nitip barang-barang lagi yang tadi belum terbeli. Jadi. kami muter-muter lagi di Asemka selama 2 jam. Setelah itu, nge-busway dari Stasiun Kota ke Harmoni, transit ke Pasar Senen, dan langsung transit lagi ke Mangga Dua. Kami masuk Mangga Dua Square sekitar jam 5.30.
Pertama masuk MDS, Sondang langsung tertarik sama J-Co Donut, tapi aku gak mau. Kebanyakan pengawet tuh makanan… Akhirnya kami menyelingkuhi J-Co dan malah beli Baskin Robbins **yaaayy**. Setelah itu kami muter-muter cari tempat yang enak buat menikmati single scoop cone kami. Jadi kami duduk di depan eskalator sambil mengamati orang-orang yang muncul dari eskalator itu. Banyak orang berkostum hitam-putih, dan banyak anak-anak cewek naik otopet di situ.
Setelah puas menjilat-jilat single scoop cone, kami mulai hunting lagi. Kali ini cari ATM BCA, karena sekali lagi duitku habis. Setelah dari ATM, kami cari-cari kaos buat aku, karena aku kehabisan baju ganti kaosku habis. Bener-bener impromptu deh. Akhirnya aku menemukan kaos harga 30 ribu yang lumayan lah, jadi aku beli satu. Habis itu, giliran Sondang yang hunting. Mulai dari rok gipsy, baju renang, dan akhirnya kaos juga.
Setelah itu, kami menuju Carrefour, mau beli ransum buat makan malam. Tapi karena memang baru sekali itu masuk Mangga Dua Square dan nggak tau letaknya Carrefour di mana, kami kesasar. Rasanya seperti tertipu ketika mengikuti signboard yang menunjukkan Carrefour ada 1 lantai di bawah, lha kok ketemunya malah parkiran. **piye to iki??**
Akhirnya setelah naik lift lagi ke atas dan kebablasen sampe 4 lantai (kalo nggak salah), kami menyerah dan tanya satpam. Setelah itu baru ketemu Carrefour. Kami beli pisang, roti, dan aqua buat makan malam. Sadar kalo waktunya udah mepet, kami lari-lari ke sana kemari nggak jelas, dan akhirnya keluar dari Mangga Dua Square. Sampe di luar, muncul pertanyaan baru: Halte busway yang tadi kok nda ada ya??? Tapi akhirnya ketemu juga setelah sadar bahwa kami salah arah . Jadi, kami lomba jalan cepat ke busway dan akhirnya tiba juga di Setasiun Pasar Senen. Aku mandi lagi di situ, tapi Sondang nggak. **nggak pliket apa ya??**
Setelah itu, ketemu Nora dan Cory, temen-temen Sondang yang mau ikutan bareng ke Jogja. Kami masuk peron dan ngetem di cafe Torabika sementara nungguin keretanya datang. Aku pesen es Cappuccino dan Sondang pesen hot Cappuccino **menunya juga adanya cuma itu doank… cape dehh…** Setelah puas menjarah bekal Nora yang enak banget, kami naik ke kereta. Ternyata penuh euy…
Dan kami pun ngobrol lagi sampe sekitar 1 jam perjalanan. Setelah itu, aku dan Sondang langsung tepar.. dah nggak kuat lagi ngobrol banyak-banyak…
Paginya… ada pengamen banci… duh… sial…. Hwaaaaaa…
Ternyata pengalaman di kereta selama perjalanan pulang jauh lebih colorful daripada waktu perjalanan berangkat. Lebih banyak pedagang dan pengamen…
“Korannya koran buat alas tidur. Gopek gopek! Gambarnya Luna Maya! Tidur sama Luna Maya cuma gopek!”
“Korek api korek api! Dua ribu rupiah saja! Ada apinya lho!”
** apaan seeh??? **
Dah gitu, sekarang ada pula orang jualan pulsa isi ulang di kereta ekonomi. Makin lengkap aja ni kereta yak?? Cowok yang duduk di sebelahku (yang katanya Sondang itu temen SMA dia yang dia lupa namanya **dudulz**) sampe bilang kalo menu di ekonomi ternyata lebih lengkap daripada eksekutif. Mulai dari Aqua, Mizone, Pocari Sweat, nasgor, nasi rames ayam/rendang, gorengan, jenang, sale pisang… **halah**
Sampe di Lempuyangan, Cory dan Nora langsung mencari jemputan masing-masing, sementara aku nemeni Sondang menunggu Bang Jo sebentar. Setelah Bang Jo datang, aku mandi, dan tampaknya aku lupa waktu dan ketinggalan Pramex lagi padahal aku dah telat 1 jam . Jadilah aku sampe di kantor jam 11.30. BRAVO!!!
That’s all folks… Until my next adventure with Sondang! (hopefully )
day 1
16:30 – kumpul di rumah agung. cek perbekalan, cek mobil, cek bensin, cek personel… bla bla bla…
17:30 – berangkat!!!
19:00 – tiba di SMU St. Yosep Solo
19:30 – on stage
19:50 – off stage
20:00 – ngobrol di transit room
21:15 – makan di kotabarat setelah puter-puter ga karuan. lauk: bebek goreng + nasi liwet (emangnya nasi yang lain gak diliwet ya?)
22:30 – tiba di rumah buliknya lintang
24:00 – bobo’ malem
day 2
9:00 – berangkat dari rumah buliknya lintang
9:30 – tiba di solo grand mall, masih tutup ^_^, puter-puter dulu ke kraton solo
10:15 – akhirnya bisa masuk ke solo grand mall
11:45 – masuk ke solo square
13:150 – keluar dari solo square, debat mau makan di mana…
15:00 – tiba di yogyakarta, masih bingung mau makan di mana…
15:45 – akhirnya makan di warung special sambel, pogung
17:00 – akhirnya sampe di rumah lagi… tidurrr!!!