Apakah gerangan Lir? Atau mungkin mundur selangkah lagi: bahasa apakah gerangan kata “lir” ini? Dalam bahasa Jawa pun ternyata ia memiliki beberapa makna. Tapi untuk saat ini, mari kita berkunjung saja ke Lir, sebuah tempat ngobrol yang asyik, tenang, ndhêlik, dan hijau.
Di suatu sore, sepulang kerja, mendadak kêpéngén ke tempat ini, tempat yang sudah lama masuk ke to-do list bagian tempat nongkrong. Sayang sekali pertama kali ke tempat ini ketika matahari sudah terbenam karena salah ingat alamat (Jalan Anggrek ya kawan, bukan Jalan Mawar) dan keengganan bertanya pada orang di sekitar situ. Tapi akhirnya ketemuuu!
*mrèngès*
Setelah sekian lama tertunda karena sok sibuk dan kebanyakan alasan, akhirnya kesampaian juga berkunjung ke tempat ini.
Lir ini menempati sebuah rumah bergaya arsitektur indis. Kebetulan waktu mencari referensi tentang arsitektur ini (karena mama saya yang arsitek, bukan saya), saya menemukan tulisan mbak Sinta Carolina (hai mbak, lama tak jumpa!) tentang salah satu Heritage Trail yang diadakan JHS (Jogja Heritage Society). Di artikel itu ada beberapa foto rumah bergaya arsitektur indis yang buatku asik banget bentuknya, tidak seperti rumah jaman sekarang yang sekedar kotak-kotak demi mengikuti tren gaya minimalis.
Nah, Lir ini menerapkan apa yang disebut dengan adaptive reuse, yaitu pengalihan fungsi suatu bangunan sehingga ia tidak lagi digunakan sebagaimana tujuan awalnya, dengan tidak mengubah apalagi merusak bangunan itu. Justru sebisa mungkin memugar bangunan sehingga bisa sebagus aslinya. Ini adalah konsep yang sangat dipromosikan oleh JHS. Banyak sekali bangunan-bangunan bergaya indis, atau bahkan bangunan asli Jawa (rumah Jawa lengkap dengan senthong kiwa dan senthong tengen) di Yogyakarta tercinta ini yang sudah diprèthèli, diubah demi modernisasi, atau bahkan dirubuhkan total/sebagian. Kekayaan arsitektural kita sesungguhnya sangat banyak, éman-éman kalau tidak kita jaga dengan baik.
Oke, sekian tentang arsitektur dan sejarah. Sekarang mari kita masuk ke Lir!
Masuk ke beranda langsung disambut tegel, ubin jaman dulu yang berwarna abu-abu. Seperti di rumah eyang. Masuk pertama kali dan kami disambut buku!
Masuk agak lebih jauh, dan kami menemukan definisi Lir menurut para pendirinya.
Sementara itu, di depan meja kasir ada sekumpulan buku-buku mungil yang bisa dibeli. Konsep tempat ini memang curiosity shop, jadi entah apa yang bisa kita temukan yang dijual di sini.
Di tembok pun ada dekorasi unik bertabur pernak-pernik. Lalu aku menemukan Fujica! Entah seri apa gerangan ini kakaknya Fumiko, dan sayangnya sepertinya sudah tidak bisa dipakai lagi. Tapi tetap saja, pajangan yang menarik.
Beranjak ke samping, sudah ditata meja-kursi yang sederhana, bertemakan warna hijau, dan tetap dengan dekorasi yang unik.
Berbekal satu buku besar dan beberapa brosur menarik, mendaratlah kami di salah satu meja, dan disambut dengan Hot Black Tea dan Homemade Ginger Ale pesanan kami. Guedhé sekali ya itu tempat minumnya… Marai blendingen…
Sebentar, ada yang menarik perhatian di belakang meja kami!
Sebelum makan, kami sempat ketemu dengan mas Dito, sang empunya Lir. Dia dan istrinya, Mira, ternyata adalah pekerja-pekerja seni. Pantas saja tempat ini asik dan unik dekorasinya. Mas Dito ini ternyata temanku satu carpool semasa SD. Setelah diberi tur keliling rumah dan ditunjukkan exhibition space di dalam (ada beberapa ruangan kecil, tidak sempat difoto karena kondisi sedang berantakan sehabis pameran), ternyata eh ternyata dia kenal dengan Muntah Jerapah alias Yudha Sandi, tandemnya Gracy Sondang si tukang kawat. Dan tak dinyana, mereka berdua datang ke Lir juga malam itu. Oh my, what a small world!
Setelah ngobrol, pesanan kami datang, yay!
Homemade Ginger Ale: Rp 20.000
Black Tea Hot: Rp 5.000
Macaroni Tomato: Rp 20.000
Macaroni Carbonara: Rp 20.000
Friend Mushroom: Rp 15.000
Total Biaya: Rp 80.000 untuk 2 orang
Wi-Fi: available
Colokan listrik: sepertinya agak susah
Bardiman. Entah nama siapa itu kok bisa jadi nama warung. Salah satu pelanggannya malah bilang barangkali itu semacam pisuhan yang disamarkan #bardimantenan.
WarungKopiBardiman adalah sebuah warung kopi yang buka 24 jam di Seturan, Yogyakarta. Bertajuk “warung kopi”, tempatnya cukup terang, bersih, dan didominasi warna alami kayu. Setiap kali aku lewat di Jalan Seturan Raya, tempat ini selalu kebak mencep, dan jalanan pun sangat padat, jadi malas buat berhenti mampir. Untungnya malam itu sepi nyenyet, jadi aku bisa bebas mengambil gambar.
Kesan pertama adalah betapa banyaknya koleksi kopi yang dia miliki. Semuanya dari Nusantara. Semoga saja dia juga paham betul bagaimana cara menyimpan stok kopinya yang hebat ini supaya tetap nikmat ketika disajikan. Apalagi kalau sampai ada mesin presso. Joss!
Berikutnya, mari kita melihat-lihat suasana dan dekorasi di dalam warung kopi ini.
Baiklah, selesai sudah melihat-lihat. Kini saatnya mengisi perut. Aku memesan kopi tubruk Wamena dan seporsi omelette. Emangnya kenyang makan telur dadar doang? Tunggu…
Kopi Tubruk Wamena: Rp 15.000
Omelette: Rp 10.000
Total biaya: Rp 25.000
Lumayan lah buat pertama kali ke sini. Akan kah kembali lagi? Tergantung apakah ramai, karena tempat yang terlalu ramai lalu menjadi tidak menyenangkan buatku untuk bersantai dan minum kopi.
Please welcome Fumiko, the latest edition of gadgets to join my humble collection.
Fumiko is a Fujifilm X20, a sweet-looking petite camera from the land of the rising sun.
I remember years ago writing down owning my very own DSLR as one of my long-term goals. Fast forward to about a year ago I switched to wanting to have a mirrorless camera like a Sony NEX. But then I realized that the temptation to use a variety of (very expensive!) lenses defeats the purpose of having a compact mirrorless. So I decided to go for a fixed-lens, street photography camera that looks great. The X20 hits that sweet spot. [review]
I just bought this baby yesterday, and the business of money-making forced me to not hunt for photos today. Instead, I decided to test on whatever subject I could find lying around the office. Moderate Lightroom editing applied.
That’s it for now, let’s hope Fumiko lives up to its price tag!
Sekali-sekali lah aku menulis lagi tentang perjalanan yang random.
Bandung, kota yang aku ingin kunjungi dari sejak lama, bahkan sempat aku bercita-cita kuliah di ITB. Kota yang sebelum ini hanya sempat kusambangi hanya beberapa hari saja (kalau tidak boleh disebut beberapa jam). Akhirnya semesta memberiku peluang berkunjung ke Bandung, dan tidak tanggung-tanggung, seminggu lamanya!
So here’s my story…
Awalnya ini adalah tugas resmi dari kantor, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor cabang Bandung. Senin hingga Rabu, bersama seorang kawan yang meskipun baru kukenal tapi adalah seorang traveller ulung. Lalu kami putuskan: cuti di hari Kamis dan Jumat!
Hari Pertama: 5 Mei 2014
Kami awali hari dengan tetap ngantor di Jogja, menyelesaikan beberapa hal yang memang harus selesai di Jogja, lalu ke bandara kami pergi. Airplanes: one of my favorite things in the world. Kami akan naik ATR-72, karena hanya dengan pesawat itu kami bisa pergi ke Bandung. Jarang-jarang ada kesempatan naik pesawat baling-baling yang terbang sedikit lebih rendah daripada jet Boeing atau Airbus. Delightful!
Setelah sesorean di kantor Bandung, beranjaklah kami ke kos eksklusif d’Paragon Bandung, di kawasan Setrasari. Setelah settling down dan berbersih diri, kami keluar lagi, naik angkot random yang ternyata ke Pasir Kaliki. Mengapa kami turun di Pasir Kaliki? Gampang saja, semua penumpang sudah turun kecuali kami, lalu si aa’ supir angkot tanya kami mau ke mana. Tidak punya jawaban, kami turun saja…
Lalu kami menemukan Kafetaria 170. Aku memesan risoles beef, dan kak Ulin memesan roti kukus dengan isi beef ham & eggs. Ternyata roti kukusnya segede gaban, dan risoles nya bener-bener imut bin mungil hahaha… Coffee was so-so, tapi tempatnya cukup asik buat ngobrol.
Setelah kenyang, kami ngangkot lagi ke arah Setrasari, lalu pulang dan tidur.
Hari Kedua: 6 Mei 2014
Setelah kerja seharian di kantor, kami putuskan malam ini kami tidak akan jauh-jauh dari daerah kantor/kos. Kami menemukan Kopi Anjis dan memutuskan nongkrong di situ bersama Dewi. Pisang Gemes Banget, Seblak, Roti Kukus Isi Ham, Kopi Nutella, dan Kopi Hitam menemani obrolan kami malam itu. I wish I could say otherwise, but the coffee was just not to my liking.
Masih penasaran dengan kopi, kami beralih ke Kopi TiamHochiak di Plaza Setrasari. The coffee was much, much better! Sayangnya jam buka tidak sampai larut malam jadi kami harus segera pulang.
Hari Ketiga: 7 Mei 2014
Setelah ngantor seharian dan membawa semua bawaan kami ke kantor (baju buat jalan-jalan + laptop + kertas segepok itu berat kawan!), kami harus naik taksi dari kawasan Setrasari ke Dago Atas, tempat kami menginap selanjutnya. Kak Ulin yang menemukan tempat ini, bernama BantalGulingGuesthouse.
Di taksi kami sudah bingung, ini kok jalan masuknya jauuuh sekali. Tapi begitu check-in dan melihat pemandangan dari teras kamar kami (bunk beds! ^^), kami diam. It was gorgeous! Kalau pernah lihat kota Jogja dari atas Bukit Bintang (Jalan Wonosari), semacam itu tapi versi gedenya lah. Dan itu kelihatan dari teras depan kamar! Delightful!
Lalu kami lapar. Jalan lah kami keluar, sekitar 20 menit berjalan kaki. Di jalan keluar kami menemukan semacam factory outlet yang saya lupa namanya, dan keluar lagi ke jalan Juanda dan ternyata dekat dengan Terminal Dago.
Batagor! Kami lapar dan melahap batagor di pinggiran terminal, dilayani oleh teteh-teteh yang membedakannya dengan pelanggan pun kami sulit. Bening. Kenyang perut, kenyang batin pula.
Hari Keempat: 8 Mei 2014
Bantal Guling ini agak unik rupanya. Meskipun kamar untuk 2 orang dan kasur juga ada 2 (bunk beds! ^^), selimut hanya ada satu, begitu pun handuk. Masih di laundry katanya. Ya sudahlah, toh kami datang well-prepared…
Kami bangun kepagian, seperti biasa, lalu memutuskan jalan-jalan ke sekitar kampung. Lalu kami menemukan ini:
Ternyata kami dekat sekali dengan sekolah yang tidak biasa ini. Keren! Bisa melihat soang dan ikan dan alam. Meskipun cita-cita luhurku numpak kebo belum terpenuhi, ini pun sudah cukup menggembirakan.
Sarapan di guesthouse adalah nasi goreng tanpa kecap, mie goreng, telur dadar, dan teh/kopi panas bikin sendiri. Setelah makan dan mandi, kami memutuskan untuk “main kanan-kiri”, which is another way of saying “random choice”. Angkot pertama yang lewat kami naiki, dan sampailah kami di Stasiun Hall Bandung. Salah satu ide kami adalah naik kereta ke stasiun kecil entah di mana, lalu jalan-jalan random lagi.
Oiya, perkenalkan, ini adalah Mulyadi, yaitu buntutnya kak Ulin. Karena kami tak begitu suka difoto, beliau lah yang akan menjadi foto model apabila diperlukan. d[^^v]b
Sampai stasiun jam 9.24 pagi. KRD Ekonomi Bandung Raya trayek Padalarang-Cicalengka tampak menarik. Tepatnya, Cicalengka tampak menarik. Oke, lihat jadwal. Tujuan Cicalengka berangkat sekitar 10.30. Tujuan Padalarang berangkat 10 menit lagi.
Berangkat ke Padalarang! Dan harga tiketnya absurd! Murah tenin.
Sampai Padalarang, keluar kereta, beli tiket, masuk lagi, kali ini ke arah Cicalengka. Cara menghabiskan waktu yang brilian saudara-saudara! Sampai ke Cicalengka, naik angkot, yang ternyata salah jurusan kawan-kawan! Turun lah kami di Nagrek. Iya, Nagrek yang itu, yang biasa nongol ketika ada liputan arus mudik dan arus balik. Emangnya ada apa di Nagrek? Ya memang ga ada apa-apa sih.
Setelah tanya ke ibu-ibu penjaga toilet rest area yang sotoy dan mengira kami hendak “bobogohan di tempat gelap“, kami cari angkot lagi yang ke arah Cicalengka. Kami mau cari curug (air terjun), dan ternyata si aa’ supir angkotnya mau kami sewa buat mengantar kami ke Curug Cinulang. Limapuluh ribu rupiah sekali jalan.
Dan beginilah Curug Cinulang:
Setelah cukup sejuk terkena embun dari curug, kami ngangkot lagi turun. Oiya, di perjalanan dari Cicalengka – Curug Cinulang, pemandangannya bener-bener bikin sejuk deh. Bukit-bukit ladang tembakau dan lembah di kejauhan. Untungnya kami sewa angkot, bukan naik ojek, jadi bisa duduk santai di dalam angkot yang isinya cuma kami berdua sambil ngobrol santai dan menikmati pemandangan. Sampai di bawah, si aa’ kami ajak (paksa?) makan bareng dengan kami, lalu dia mengantar kami ke stasiun Cicalengka. Kali ini, kami naik KRD Patas Bandung Raya yang harga tiketnya agak lebih masuk akal: sepuluh ribu rupiah.
Setibanya di Bandung, kami jalan-jalan menyusuri Pasar Baru, random turn, dan kami menemukan toko kopi. Niat kami mencari toko Kopi Aroma Banceuy di Jalan Banceuy, tapi malah menemukan toko kopi lain yang sayangnya aku lupa namanya. Toko itu menjual kopi yang sudah digiling maupun biji kopi yang bisa langsung digiling, dalam toples-toples besar macam wadah kerupuk. Akhirnya kami membeli 2 jenis kopi arabica dan 1 jenis kopi robusta, digiling di tempat. (sayangnya pengemasannya dengan plastik dan di-staples)
Dari toko itu, berbekal petunjuk seadanya dari orang-orang di sekitar kami, kami mencari jalan ke Kopi Aroma Banceuy. Yang terjadi akhirnya adalah kami keblasuk ke Jalan Cibadak, lalu belok-belok-belok entah ke mana, dan akhirnya nangkring di angkot yang ke arah Pasir Kaliki. Di sinilah kekonyolan terjadi…
Kami naik angkot Dago – Caringin. Duduk manis. Diam. Lalu kami bingung. Mana Dago-nya?
Ternyata itu angkot ke arah Caringin, saudara-saudara sekalian! Si aa’ supir nya sebenernya sudah tanya ketika kami naik, “ke Caringin neng?”, tapi kami sibuk dengan aktivitas nggumun bin umbrus kami. Untungnya sempat ditanya si aa’ sebelum masuk ke pasar sesuatu di dekat Caringin, dan dia mengantar kami ke Simpang Dago. Harusnya siiih, kami ngangkot lagi ke Dago Atas, tapi lalu kami terpikat ini…
Kopi Kamu! Naaah… akhirnya kami ngopi di situ, dengan kopi yang freshly ground juga. Harganya 85 ribu untuk 100 gram biji kopi, yang bisa dibikin sekitar 5 cangkir kopi. Ditemani kawan kami yang memang berkantor di Bandung, kami menghabiskan waktu ngobrol sampai tidak ada lagi angkot, dan akhirnya kami bertaksi kembali ke Bantal Guling.
Menyenangkan 🙂
Hari Kelima: 9 Mei 2014
Setelah sarapan di guesthouse, kami menemukan banner Soundsations: Road to Soundrenaline. Menarik! Tampaknya bisa buat tempat nongkrong kami nanti malam.
Lanjut, kami ngangkot dan iseng-iseng masuk ke kampus ITB. Baru sekali ini aku masuk ke kampus ITB, dan memang agak ngangeni ketika melihat adik-adik lucu yang berjalan kesana kemari dengan segala “kesibukan” tugas, kuliah, ujian, dan lain-lain. Kami sempatkan beli jus buah dan makan mie instan di kantin kampus, dan saudara-saudaraku sekalian, bahagia adalah ketika aku membeli gorengan lalu ditanya oleh ibu-ibu penjualnya: “Adek mau beli apa?“
Bahagia itu sederhana.
Dari ITB, kami keluar lewat pintu belakang (dekat lapangan softball), lalu jalan kaki lagi ke salah satu persimpangan di situ. Naik angkot lagi lah kami, melihat-lihat suasana kota, dan nyangkut di jalan entah apa namanya yang banyak kampusnya. Ada semacam STIE di situ, tapi lupa juga namanya apa. Tampak kurang menjanjikan, kami naik angkot lagi ke arah berlawanan. Lalu aku tertidur…
Tiba-tiba kak Ulin membangunkanku dan langsung menunjuk ke tepi jalan. Kafe! Spontan aku teriak, “Kiri!”, dan tersangkutlah kami di KopiProgo.
Kami ini orang-orang yang betah ngafe, dan saat itu bukan perkecualian. Meskipun rambut kami berantakan, badan berkeringat, dan muka udah kucel semacam baju belum disetrika, boleh lah kami menikmati sepiring panekuk dengan topping keju dan kismis, dan menenggak segelas Progo Iced Coffee dan Green Tea something (maap saya lupa).
Setelah puas ngafe, target kami selanjutnya adalah cilok! Jadi keluar kafe, persis di sebelahnya, kami jajan cilok. Dengan cabe sedikit pun, kami kepedesan, kepanasan pula, tapi bahagia karena sudah ngicip cilok di Bandung. #penting
Kami ngangkot lagi ke arah Dago Atas, dengan maksud mau ke Dago Tea House. Sekali lagi kami tersangkut, kali ini di pasar entah apa namanya di Jalan Juanda. Cita-cita kami sekali lagi sederhana kawan, mencari es tebu. Tapi kami cukup bahagia dengan pisang goreng yang menarik ini.
Sesampainya di Dago Tea House, kami baru tau bahwa ternyata ini event gratisan! Kami masuk, dan mendapati musik yang menyenangkan di telinga kami. Kalau tidak salah, ada 3 band yang menarik buat kami: Under The Big Bright Yellow Sun, A.F.F.E.N., dan PolyesterEmbassy. Sayangnya setelah itu kami dibuat bosan oleh stalling yang terlalu lama dan garing, lalu kami pulang.
Hari Keenam: 10 Mei 2014
Akhirnya kawan-kawan kami dari Jogja datang: Augus, Diah, dan Dali. Datang lalu tidur. Ya iyalah soalnya datangnya pagi subuh. Lalu kami pindah kamar dan bergabung bersama mereka, sekamar berlima. Setelah sarapan standar dan ngobrol sejenak, kami beranjak keluar dan naik angkot ke Simpang Dago. Di jalan kami putuskan untuk ke Lembang, jadi kami ganti angkot ke Sukajadi, lalu ke Lembang. Sampai di Lembang, bingung antara mau ke Maribaya atau ke Observatorium Bosscha, akhirnya kami memutuskan naik ojek ke Bosscha.
Sampai di Bosscha jam 12.45, kami langsung berburu satpam buat ditanyai beli tiketnya di mana. Ternyata saudara-saudara, hari Sabtu adalah hari kunjungan bebas, dan ditutup jam 1 siang! Mepet sekali! Beruntung kami masih bisa dapat tiket masuk dan tidak perlu reservasi seperti hari lain. Sungguh beruntunglah saya, karena ini salah satu tempat yang saya ingin datangi sejak dari lamaaa sekali.
Setelah puas mengagumi salah satu teropong bintang dan ngobrol santai dengan bapak pemandu, kami pun lapar, lalu memutuskan mencari makan. Tapi untuk cari makan maka harus cari angkutan dulu. Jalan kaki lah kami turun ke jalan utama Lembang, sekitar 1 km jauhnya, lalu mencegat angkot. Eh lah, si angkot naik lagi ke jalan yang tadi. Lalu kami diturunkan di jalan kecil, dekat Floating Market Bandung.
Sebenernya tertarik sih mencoba ke situ, tapi dari sejak masuk ke parkiran kami sudah diuber-uber sama tukang parkir yang merangkap tukang palak, annoying sekali. Hilang lah mood kami. Akhirnya naik angkot lagi turun, menuju ke Rumah Sosis yang tadi sudah kami lihat waktu perjalanan menuju Lembang.
Daaan… ternyata Rumah Sosis ini tempat rekreasi dengan kolam renang saudara-saudara! Sosisnya cuma dikit hahaha… Tak apalah, yang penting ada tempat nyangkruk dan rehat sejenak. Setelah perut berisi dan badan sedikit lebih segar, kami ngangkot lagi menuju ke kota Bandung. Ingin pulang, kami turun di Pasir Kaliki dan sekali lagi naik angkot jurusan Caringin – Dago. Tak ingin tertipu lagi, kali ini aku konfirmasi ke supirnya bahwa ini angkot menuju Dago. Aman.
Sampai di Simpang Dago, si angkot luruuus aja. Nggg… harusnya kan belok kiri ya, masuk ke Juanda, lalu ke atas sampai Terminal Dago. Ternyata bukan, saudara-saudara! Entah karena sudah lewat maghrib, atau supirnya iseng, atau memang jalurnya begitu, yang dimaksud Caringin – Dago adalah dari Caringin ke Simpang Dago, bukan Terminal Dago. Tertipu lagi…
Akhirnya setelah putar-putar di Bandung timur entah di mana, balik lagi ke Simpang Dago, kami ganti angkot jurusan Kalapa – Dago. Kali ini bener. Sampai di Terminal Dago, beli batagor idaman kak Diah dan sebutir nanas idaman kak Ulin, lalu pulang, mandi, makan, dan nongkrong di guesthouse.
Hari Ketujuh: 11 Mei 2014
Kami malas. Bangun sih pagi ya, tapi bermalas-malasan di kamar dan baru berangkat sekitar tengah hari. Mengangkot lah kami ke Stasiun Hall dan mencari tempat penitipan barang. Ternyata ada, di seberang pintu selatan, di semacam warung kelontong. Setelah hilang beban berat kami, lalu Braga menjadi tujuan berikutnya.
Kata orang: “ke sana aja teh, nanti ada Bank Jabar, nah itu belok kiri, udah deh Braga”. Well, he forgot to mention that it was a 2 km walk. Tapi gapapa sih, malah asik menyelusup menyelinap di keramaian Pasar Baru. Sampai di Braga, karena memang masih siang ya, jadi puanasnyaaa… Akhirnya kami nyangkut di Braga Huis, tempat pertama yang menawarkan keteduhan dan penghilang dahaga.
Dapet Stella Artois donk di sana. Ndeso ya? Biarin lah, susah cari Stella Artois di Jogja.
Setelah puas menenggak minuman se-gendul, kami lanjut lagi jalan menyusuri Braga, dan tersangkut di sebuah gedung tua milik PGN yang ternyata sedang digunakan untuk pameran desain produk. Nyam! Lumayan lah dapat hiburan gratis lagi.
**karena saya suka sekali pesawat, dan kebetulan hanya ada foto ini (pun yang memotret adalah kak Ulin), maka ya sudah lah hehehe…
Setelah puas di pameran, kami jalan lagi donk kembali menuju Stasiun Hall. Di jalan menemukan Wiki Koffee, tapi sayangnya tempat itu sudah berubah menjadi tempat ngumpul anak-anak muda hipster. Ya sudahlah, lanjut saja, toh sudah hampir waktunya pulang ini.
Lalu kami tiba di stasiun dan pulaaang…
Hari Kedelapan: 12 Mei 2014
Setibanya di Jogja, sekitar jam 4.30 pagi, kami langsung ke mess kantor, numpang tidur sejenak dan berbersih diri, lalu ngantor lah kami. *kriyip-kriyip*
Itu, saudara-saudara yang budiman, adalah perjalanan kami selama seminggu yang nyaris tanpa rencana. Sekian.
I was listening to Ben Rector’s When A Heart Breaks this morning when I thought he mentioned something about Jesus. See if you can spot it…
If my ears serve me right, I’m hearing the phrase:
…and you don’t need Jesus, ’till you’re here.
Maybe it’s just another line in another sad song about love and heart breaks, but something else caught my attention. Literally, Ben Rector’s telling us that he thinks we don’t need Jesus until we experience a heartbreak.
Or do we?
I take this as a reminder that we humans tend to forget our Creator when we’re happy. We then come crawling back when something really bad — like a heartbreak — happens to us. Only then — when we realize the gravity of our situation, our state of helplessness — do we acknowledge that we need something or someone greater than us to lean on, which in the case of Christians is of course Jesus.
So, do we really need Jesus — or God, for my brothers and sisters who embrace a faith other than Christianity — only after we encounter a heart-breaking experience?
A few decades ago, it was common for institutions of higher education to provide affordable housing options for its staff. The common practice would be for the campus to buy a huge piece of land, break it up into lots, and then offer them to its staff at a very attractive price. This was the case with UGM, where my aunt was lecturer and where I got my bachelor’s degree.
Long story short, my aunt got married to an American, and is now living on the other side of the earth from here. Thus, the plot of land that was allocated for her is no longer of any use. So, she decided to hand over the deed to me. So about a year ago I went to campus and met with some of her old friends, and they pointed out the directions for me. About a month after that, my mom and I decided to have a look at its site. Boy, were we surprised.
The locals hadn’t heard from my aunt in ages (like, 2 or 3 decades), so they decided that the plot of land was vacant, and decided to build an off-road grass track that cuts right in the middle of it. Even the boundary markers were gone.
Now, this is also a common practice in my beloved nation: anything that hasn’t got a label on it, belongs to no one, and anybody can claim ownership of it. This is the model of thinking that has Jakarta’s rivers flooding.
How, you ask?
A lot of low-income and non-educated households dream of making it big in the metropolitan city. So they leave from villages all across Java, move in, and build makeshift houses from sheet metal and leftover wood pieces. They start littering the river with their household waste, throwing away everything from leftover food to broken refrigerators. Now, when the Vice Governor of Jakarta asks them to leave and occupy the many low-cost apartments he built for them, they refuse. They claim that it is their God-given right to live there and evicting them would be a violation of human rights.
Well, damn!
This also happened recently to UGM, albeit in a slightly different situation. UGM owns a vast area of land in the northern part of Yogyakarta. This includes the network of roads and streets crisscrossing between the hundreds of buildings. On Sunday mornings a part of this property called Lembah UGM (The Valley), around Notonegoro St., is bustling with commerce. Sort of an impromptu market where people can buy anything from cheap hair accessories to traditional food. This is great for the economy, of course, and provides an excellent place for citizens to gather in a public place to jog, bike, relax, have breakfast, do some light shopping, etc.
Now UGM wants to reorganize the place to better support the environment. For this reason, the authorities have prepared a relocation site for all 784 “tenants”. Now, I’m not really sure if “tenant” is the right terminology, but sources say that the sellers pay a fee from $0.50 up to $1.50 to fund the cleaning services afterwards. This is of course very, very cheap compared to the amount of funds UGM is prepared to spend for the relocation.
Of course, being the Indonesians we are, the tenants furiously refuse the relocation plan, reasoning that the new place costs more ($2.00), the place is smaller, and so on and so on. Bottom line is that the plan will cost them money, and they won’t leave without a fight.
They even requested legal aid. This baffles me. If anyone has any information on how exactly the deal is between UGM and these tenants, please let me know. As far as I know, however, UGM has every right to evict these tenants after the contract is over. I mean, it is a contract, isn’t it? It surely has a time limit, and it will have no legal effect once it has expired and both parties have fulfilled their obligations.
If that is how it is, then this, ladies and gentlemen, is a hostile takeover of the rightful property of Universitas Gadjah Mada.
Of course, I could be wrong, and I might have not researched the topic thoroughly enough. In that sense, any corrections are welcome.
UPDATE (24/02/2014):
Some friends have informed me that the current “tenants” pay a hefty fee of about $400 to secure their lot at the Sunday Morning market. This fee is payable to the “previous tenant”, and is valid until it is “sold” to the next tenant. I’m making a wild guess that this is where the term “grandfathered” originated.
Let’s forget for a second now that this deal is “for life” and puts UGM at a ridiculous disadvantage, and focus on the deal itself. Are there any valid legal documents proving that the deal even existed? Who signed the documents? Are UGM officials involved in this? Will the deal even be considered in the court of law?
I find it curious that I can’t find any sources online that can verify my friends’ story. If anybody has any info about this, by all means, please share it with the rest of the world.
Not long ago I consulted with an old friend on the best strategy to pay off the mountain of debts I had just acquired, which I need for payment of a piece of land I’m trying to buy. Because he needed to evaluate based on hard data, I conceded to giving him all my numbers.
He was stunned.
My debt service ratio was way higher than what most banks would recommend or require for approval of credit, not to mention that my emergency fund was in a pretty ugly shape. He asked what struck me so bad in the head that I had the audacity to proceed with my purchase.
I explained to him that I’ve been searching for years, and I was stuck on another island for too long that even when the right offer popped up I was unable to seize it because of how long it would take and how expensive it would be to immediately close the deal. Now, I’m in a very good position, both geographically and mentally, to seize a deal. Not so much so financially, and this is what raised his flags.
This, my dear friends, is what he called the scarcity bias.
I was too happy to finally find a piece of property that is very appealing, very strategic, and frankly quite a bargain. I was willing to look the other way when hard data suggests that I do not have the financial capability to generate that certain amount of money within that certain amount of time. I was even willing to overlook some of the obvious drawbacks of the property.
This is what he compared my situation with: You’re a grumpy old single person who hasn’t had a girlfriend in ages, has failed at dozens of attempts at getting a girlfriend, and you’re in a community where people show off their spouses and how happy they are and look down on you for being single. Now, this girl comes up to you and shows a genuine interest.
You’d feel like she’s the one, the angel from heaven who descended upon the mere mortal that is you.
After a while you’d realize that she’s not that divine. Not at all. Eventually the entirety of her dark side comes into view, but you choose to close your eyes, because you don’t want to wake up to the reality that she is not the one who can make you happy.
That’s quite a dramatic analogy, but it kinda hits the spot.
So there you have it, a random post about a curious little thing called Scarcity Bias.
When you’re in love, everything about that person becomes a source of joy. Their jokes become so funny, their little favors so precious, their mistakes silly and forgivable, their flaws nonexistent.
When you’re hurt by someone, everything about that person becomes a source of negative energy. Their jokes become harsh sarcasm, their kind intentions tainted by hidden agendas, their mistakes unforgivable, their flaws unmistakably true and intolerable.
Either way, you’ll forget about your “friends”, those who are neither your object of infatuation nor your perpetual enemy, the bystanders caught in the crossfire — the very persons who actually care about you but have no way to get into your life anymore. They will lose their priority in your agenda, and/or become a target of your never ending complaints and tantrums. If you’re not careful enough, by the time you finally regain control of your emotions, they’ll be long gone.
Damage prevention: keep your feet on the ground at all times.